DOKUMEN HARVEST STRATEGY RAJUNGAN
Potensi
lestari rajungan di Indonesia diperkirakan sebesar 60.000 ton per tahun. Pada
tahun 2017, Asosiasi Perikanan Rajungan Indonesia (APRI) telah memanfaatkan
rajungan berkarapas sebesar 63.000 ton. Provinsi Jawa Timur tercatat sebagai
sentra produksi terbesar dengan 33,5% dari total produksi nasional. Sedangkan
Provinsi Jawa Barat dengan sentra andalannya kabupaten Indramayu dan Cirebon hanya
berkontribusi sebesar 1,6% saja.
Estimasi
potensi perikanan rajungan sudah terdokumentasi khusus dalam Keputusan Nomor
50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah
Tangkapan yang diperbolehkan (JTB) di WPPNRI. Status pemanfaatan rajungan di
Indonesia masih baik namun sudah mengindikasikan overekspolited di WPPNRI 711 dan 717. Faktor-faktor yang menentukan
biomasa adalah karakteristik biologi rajungan sangat cepat berkembang biak atau
fast growth, spesies menetap (sedentary fishes), dan tingkat kematian
alaminya termasuk tinggi.
Tantangan
pembangunan berkelanjutan dunia melalui pilar-pilar sustainable development goals dimana setiap negara berkewajiban
dapat mencegah terjadinya overeksploited serta
dapat menjamin generasi berikutnya menikmati ikan. Bahkan, dalam SDGs juga ditetapkan angka
tingkat pemanfaatan maksimal 0,8. Permasalahan lainnya yaitu kerusakan pada
area-area asuhan rajungan (nursery ground)
yang disebabkan oleh reklamasi dan penebangan hutan mangrove. Melihat fakta-fakta
itulah maka dunia menganggap penting sebuah dokumen harvest strategy.
Menurut
Camppbell R. Davies arti penting harvest
strategy lebih kepada operasionalisasi pemantauan yang dilakukan secara
efektif dan upaya pengambilan keputusan yang adaptif. Oleh karena itu,
penyusunan dokumen harvest strategy
sebaiknya diawali dengan penetapan nilai harvest
control rule (HCR). Misalnya HCR untuk harvest
strategy tuna menggunakan indikator CPUE dan size dengan mengacu pada data
stok dari RFMO.
Penetapan
nilai dan kaidah HCR juga harus berhati-hati terutama dalam pengambilan sampel.
Perlu dijelaskan unit sampel, jumlah sampel, dan areanya. Selain itu, hal
terpenting adalah penentuan sumber data yang akan menjadi acuan. Apakah data
statistik perikanan tangkap yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan atau data lainnya yang dianggap lebih baik. Penentuan data HCR ini
juga perlu memperhatikan aspek monitoring secara periodik.
Pemerintah
Indonesia sangat mendukung upaya penyusunan harvest
strategy rajungan. Menteri Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) rajungan Nomor 70/KEPMEN-KP/2016 di WPPNRI yang
mengisyaratkan pentingnya memiliki dokumen harvest
strategy. Bahkan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap telah membuat pedoman
dan petunjuk teknis dalam membuat dokumen harvest
strategy melalui peraturan Nomor 17/PER-DJPT/2017.
Penyiapan
dokumen harvest strategy saat ini diprioritaskan
untuk WPPNRI 712 yang meliputi Laut Jawa bagian utara. Selain pertimbangan
produksi pendaratan rajungan yang sangat besar juga karena data limit reference point SPR sudah dibawah
> 20%. Nilai SPR untuk bubu rajungan di desa Betahwalang sekitar > 13%.
Kemungkinan tersebut disebabkan oleh cantrang dan arad yang telah dilarang
tetapi masih banyak yang beropeasi sehingga dapat menjaring juvenil rajungan.
Data
pendukung lainnya dari hasil penelitian di Selat Tiworo (WPPNRI 714)
menunjukkan bahwa nilai SPR ditetapkan minimal > 15% dengan nilai CPUE 2 – 3
kg/trip. Di area tersebut beroperasi alat penangkapan gill nets pada jalur > 10 meter dari pantai dengan hasil
tangkapan dominan rajungan dewasa (lebar > 8 cm). Selain itu, bubu juga
beroperasi pada kurang dari 5 meter dari pantai dengan hasil dominan rajungan
remaja dan juvenil berukuran < 8 cm.
Disamping
itu, penelitian juga dilakukan di pesisir Lampung Timur. Hasil kajian
menunjukkan bahwa larva dari Lampung dapat mencapai Teluk Jakarta tetapi tidak
berlaku sebaliknya. Pada musim kemarau banyak tertangkap rajungan betina
bertelur dan juvenil di perairan dangkal dengan salinitas tinggi. Sementara
rajungan dewasa lainnya tertangkap di perairan yang lebih dalam. Pada bulan
Nopember hingga Januari juga ditemukan banyak tertangkap rajungan dengan ukuran
karapas kurang dari 10 cm.
Hasil
penelitian belum bisa menentukan daerah pemijahan rajungan, tetapi sudah bisa
memperkirakan daerah asuhan rajungan. Hasil lainnya dapat terlihat
kecenderungan nelayan yang menangkap di dekat pantai lebih besar pendapatannya
daripada nelayan yang jauh dari pantai. Lebar karapas rajungan yang boleh
ditangkap > 12 cm. Selanjutnya hasil penelitian ini juga bisa berkontribusi
dalam penyusunan RZWP3K Provinsi Lampung.
Informasi
lainnya untuk mendukung dokumen harvest
strategy yaitu model pengelolaan rajungan berkelanjutan yang dapat diadopsi
dari desa Betahwalang, Demak, Jawa Tengah. Inisiasi dari pemerintah kabupaten
sangat kuat dengan membentuk lembaga pengelola rajungan lestari. Pemerintah
desa juga telah menerbitkan peraturan desa tentang area konservasi rajungan dan
membangun holding cage atau tempat
karantina rajungan bertelur.
Co mangaement antara pemerintah dengan masyarakat desa Betahwalang
telah terbangun sehingga partisipasi masyarakat menjadi kunci pengelolaan.
Bahkan, pemuda-pemuda desa yang lulusan sekolah perikanan diberdayakan sebagai
pengumpul data serta dapat memantau nilai SPR dan menentukan langkah-langkah
pengendalian secara mandiri. selain itu, masyarakat desa Betahwalang semakin
memahami pentingnya berkelompok. Kelompok-kelompok yang telah tergabung dalam group
WA diantaranya kelompok bakul, kelompok nelayan bubu, dan kelompok pengrajin
bubu.
APRI
mengingatkan bahwa pembahasan tentang data dan metode sudah dimulai sejak tahun
2012. Pihaknya mengharapkan dokumen harvest
strategy segera untuk disusun karena penting untuk keberlanjutan usaha
dengan data yang tersedia sesuai prinsip CCRF yaitu best scientific evidence available. 7 negara lain telah memiliki
nilai HCR dengan menggunakan SPR. Bahkan, Australia telah memiliki dokumen harvest strategy for blue swimming crab sebanyak
29 halaman.
Penggunaan
kaidah SPR untuk Limit Reference Point
dan Target Reference Point juga harus mempertimbangkan kewajiban monitoring
secara periodik dan biaya yang dikeluarkan. SPR dengan menggunakan sampel
kematangan gonad berpotensi biaya tinggi. Opsi lainnya adalah menggunakan CPUE.
Dalam menghitung CPUE juga perlu diperhatikan unit upaya dari masing-masing
lokasi yang memiliki perbedaan karakteristik. Oleh karena, itu perlu
standarisasi upaya apakah menggunakan ukuran GT atau unit alat penangkapan ikan
atau lainnya.
Apakah
mengunakan SPR atau CPUE tentunya perlu dijelaskan masalah cara pengambilan
sampel. Jika betul-betul diterapkan fish
track atau sejenisnya dapat membantu sistem pencatatan data secara lebih
cepat dan akurat berasal dari nelayan secara langsung. Upaya monitoring data
juga bisa dilakukan dengan mudah. Selain itu, teknologi tersebut juga dapat
membantu memetakan tempat penijahan rajungan. Penggunaan fish track oleh nelayan juga dapat dilakukan dengan pola insentif.
Tidak
hanya menyiapkan doumen harvest startegy,
peran APRI juga sangat besar dalam pengelolaan rajungan. APRI telah
melakukan pendataan bakul dan suplier. Kegiatan
lainnya yaitu restocking yang dilakukan
di area-area padat penangkapan. Pihaknya juga memberikan bantuan alat perebusan
rajungan kepada nelayan.
APRI
saat ini sedang menyiapkan 1 unit assessment
untuk MSC. Lokasi tersebut yaitu Jawa Timur dan Madura. Rencana pre assessment
akan dilakukan menunggu MoU antara MSC dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan terlebih dahulu. Titik berat penilaian adalah sejauhmana pemahaman
nelayan, bakul, dan suplier terhadap
pentingnya pengelolaan rajungan.
Pengelolaan
rajungan secara berkelanjutan perlu memperhatikan kemampuan stok untuk pulih setelah
dilakukan penangkapan. Apabila memperhatikan kewajiban monitoring yang harus
dilakukan secara periodik maka data yang dimiliki pemerintah sebaiknya menjadi
sumber data acuan. Opsi-opsi pengelolaan rajungan diantaranya yaitu: (1) mengubah
ketentuan lebar karapas rajungan yang boleh ditangkap dari > 10 cm diusulkan
naik menjadi > 12 cm, meskipun lebar karapas untuk setiap WPPNRI
berbeda-beda, (2) rehabilitasi nursery
ground rajungan dengan menanam mangrove, (3) menerapkan aplikasi track fish sebagai alat monitoring.
Comments
Post a Comment