Impor Ikan Illegal

Impor Ikan Illegal

Oleh: Yaya Hudaya, S.Pi

Maraknya impor ikan berbagai jenis di Tanjung Priuk, Medan, dan Surabaya telah membuat gerah Pemerintah dan karena itu saya merasa tertampar pipi kanan dan kiri. Ini harus kita maklumi karena bertolak belakang dengan Pemerintah RI yang memiliki visi menjadi penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Selain itu yang mencengangkan beberapa jenis ikan seperti kembung, layang, teri, cakalang, dan lele yang bisa diperoleh di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI ternyata diimpor juga. Tamparan diperparah lagi karena sebagian impor dilakukan secara illegal. Impor ikan ini akhirnya menjadi topik hangat di media cetak maupun elektronik yang memunculkan diskursus yang panjang, hingga mencuatlah berbagai opini masyarakat. Masyarakat dan pihak tertentu ternyata setuju dengan impor tersebut dengan alasan kebutuhan Industri yang tidak terpenuhi dan sebagai upaya untuk melindungi konsumen dengan menyediakan ikan murah. Opini lain mengatakan bahwa banjirnya ikan impor dengan harga murah akan menyebabkan nelayan dan petambak akan bangkrut. Opini jalan tengah atau win win menjelaskan bahwa impor ikan harus diatur dan dikelola dengan baik.

Mari kita coba sedikit mengulas opini-opini tersebut dengan beberapa hal yang mesti kita cermati. Untuk beropini tentunya kita memiliki dasar analisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil analisis harus bisa menjawab berapa produksi (suply) perikanan Indonesia, berapa permintaan bahan baku unit pengolahan (UPI) dan konsumsi masyarakat, berapa perkiraan ekspor, apa keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki, berapa biaya produksi dan pengaruh apresiasi mata uang rupiah terhadap dolar USA yang kesemuanya itu mempengaruhi harga ikan di dalam negeri. Parameter ini diharapkan bisa menjadi argumen kita.

Yang pertama, berdasarkan data statistik perikanan tahun 2009 produksi perikanan tangkap Indonesia sebesar 5,10 juta ton yang terdiri dari 4,81 juta ton berasal dari laut (Sea water) dan 0,29 juta ton berasal dari perairan umum (Inland water). Sedangkan produksi dari hasil kegiatan budidaya sebesar 4,68 juta ton yang terdiri dari 2,82 juta ton berasal dari budidaya laut, 0,9 juta ton dari tambak, 0,55 juta ton dari kolam, 0,10 juta ton dari karamba, 0,23 juta ton dari jaring apung, 0,086 juta ton dari sawah.

Total produksi perikanan mencapai 9,78 juta ton dari luas perairan laut 5,8 juta km2, perairan kepulauan 2,3 juta km2, perairan teritorial 0,8 juta km2, perairan ZEEI 2,70 juta km2, dan panjang garis pantai kurang lebih 80.000 km, SDA tersebut memiliki potensi dalam peningkatan produksi khususnya dari kegiatan budidaya perikanan. Produksi perikanan tangkap diharapkan mencapai titik optimum melalui perizinan dan pengawasan terhadap kepatuhan pendaratan ikan, penyelundupan ikan serta praktek illegal fishing. Produksi perikanan tangkap diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan signifikan karena adanya keterbatasan daya dukung SDI.

Kurva penawaran (suply) perikanan tangkap dapat bergeser, bahkan diperkirakan secara global cenderung menurun apabila semua otoritas tidak mampu mengelolanya. Faktor yang sangat mempengaruhi produksi perikanan tangkap diantaranya ketersediaan BBM dan kondisi cuaca. Cuaca buruk disertai ombak tinggi yang terjadi tiga tahun terakhir ini ditambah lagi kenaikan harga minyak dunia dapat mengakibatkan penurunan produksi.

Demikian juga faktor yang mempengaruhi pergeseran kurva penawaran (suply) produksi budidaya diantaranya ketersediaan pakan berkualitas, benih unggul, dan ketersediaan pasar. Ketiga faktor ini diyakini sangat mempengaruhi produksi budidaya perikanan. Ketersediaan tepung ikan dan dedak halus yang masih terbatas ditambah adanya ikan lele impor sangat memukul perasaan petambak.

Berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun 2009 jumlah armada perikanan tangkap mencapai 913.000 unit terdiri dari armada perairan umum 309.932 unit, dan armada laut 603.856 unit. Dari armada laut sebesar 603.856 unit terdapat izin pusat untuk ukuran lebih dari 30 GT sebesar 6.342 unit. Armada kapal izin pusat diperkirakan memberikan kontribusi produksi sebesar 1,2 juta ton per tahun dengan asumsi produktivitas 2 ton per GT. Peningkatan produksi perikanan tangkap lebih diarahkan dari sisi mutu hasil tangkapan untuk mengurangi losses dalam penanganan hasil di atas kapal, mengurangi penyelundupan hasil tangkapan ke luar negeri, memerangi illegal fishing, menambah armada berteknologi tinggi yang dapat berkiprah di laut lepas (High seas) dan mengurangi armada di teritorial. Melalui program restrukturisasi armadat diharapkan mampu meningkatkan stok penyangga di laut teritorial dan meningkatkan kontribusi produksi perikanan tangkap dari laut lepas.

Yang kedua, permintaan (demand) dari kebutuhan bahan baku unit pengolahan dan konsumsi masyarakat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 238 juta orang. Jika konsumsi ikan Indonesia perkapita mengikuti standar FAO sebesar 30 Kg per orang per tahun, maka konsumsi ikan masyarakat Indonesia diperkirakan mencapai 7,14 juta ton per tahun. Jumlah unit pengolahan ikan (UPI) yang terdaftar sekitar 500 unit, dan jika kapasitas produksi rata-rata 10 ton per hari, maka kebutuhan bahan baku UPI di Indonesia sekitar 1,5 juta ton per tahun. Total permintaan ikan di Indonesia diperkirakan mencapai 8,64 juta ton. Segmen pasar yang berbeda antara produk hasil budidaya dengan produk perikanan tangkap akan mempengaruhi permintaan.

Kurva permintaan (demand) secara elastis bergeser, bahkan diperkirakan cenderung meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi (Y=C+S+I+devisa) perkapita di Indonesia cenderung meningkat, terlihat dalam peningkatan GDP perkapita tahun ini yang meningkat mencapai $3.500 perkapita. Selain itu Stabilitas ekonomi juga tetap terjaga dengan angka inflasi yang relatif stabil. Masyarakat Indonesia secara umum mengalami peningkatan kesejahteraan sehingga memicu daya beli yang luar biasa.

Yang ketiga, perkiraan ekspor perikanan Indonesia jika melihat produksi dan permintaan, setelah dikurangi permintaan dalam negeri, maka masih ada surplus produksi yang dapat di ekspor sekitar 1,14 juta ton. Sementara itu berdasarkan data dari laporan kegiatan kapal pengangkut ikan (LKP-B tahun 2004 s/d 2010) sekitar 251.601 ton hasil tangkapan ikan diekspor ke Malaysia (14.438 ton), Thailand (131.684 ton), China (79.428 ton), Taiwan (1.250 ton), Singapura (11.722ton), Philipina (4.356 ton), USA ( 8.723 ton). Dalam kurun waktu tersebut belum ada laporan kapal pengangkut yang mengekspor ikan ke Uni Eropa. Laporan tersebut setidaknya dapat mempetakan ekspor hasil tangkapan ke Malaysia oleh pelaku perorangan yang berdomisili di Kijang, Tanjung Balai Karimun, dan Tanjung Pinang, Ekspor hasil tangkapan ke Thailand dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di ZEEI LCS, Ekspor hasil tangkapan ke Philipina oleh perusahaan yang beroperasi di ZEEI Sulawesi Pasifik, Ekspor hasil tangkapan ke China oleh perusahaan yang beroperasi di ZEEI L. Arafura.

Yang keempat, keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki Indonesia diantaranya SDA yang melimpah, permintaan pasar yang besar, modal sosial (sosial capital) yang baik. Namun demikian sumberdaya kapital (SDK), kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya teknologi (SDT) masih jauh dibawah negara-negara pesaing seperti Thailand, China, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Jepang, Peru, USA, dan Korea selatan.

Yang kelima, biaya produksi dan pengaruh apresiasi mata uang rupiah. Biaya produksi perikanan tangkap sangat dipengaruhi harga BBM dan harga BBM ini sangat dipengaruhi kondisi politik ekonomi global. Selain itu biaya produksi perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja yang dianggap masih rendah dan Pungutan hasil perikanan (PHP) dan pungutan lainnya dianggap mengakibat ekonomi biaya tinggi (inefisiensi). Transhipment dan penggunaan alat tangkap jaring dirasakan sangat menolong para pelaku usaha dalam efisiensi produksi. Kebijakan perikanan tangkap yang membolehkan transhipment dengan syarat harus dalam satu kesatuan manajemen atau melakukan kerjasama usaha dianggap sudah jempolan. PHP yang dibebankan kepada pelaku usaha izin Pusat dapat dijadikan kunci utama patokan harga ikan, sehingga besaran PHP dapat dinaik-turunkan sesuai kondisi perdagangan ikan dunia. Apresiasi penguatan nilai tukar rupiah akan menurunkan pendapatan perusahaan perikanan tangkap yang berorientasi ekspor.

Kebutuhan akan tepung ikan dan dedak halus sangat besar dan perlu dicarikan solusinya. Beberapa komponen teknologi budidaya yang terpaksa harus diimpor tentunya sangat dipengaruhi oleh apresiasi nilai tukar mata uang rupiah. Penguatan nilai tukar rupiah akan menurunkan biaya produksi.

Berdasarkan parameter analisis di atas dapat kita sederhanakan bahwa secara umum produk perikanan tangkap tidak mengalami kesulitan pasar bahkan mampu mengkondisikan pasar, sedangkan produk budidaya harus lebih kreatif dalam merekayasa produk dan pasar baru. Kementerian Kelautan dan Perikanan memerlukan langkah-langkah positif untuk mengawal visi dan misi KKP 2010 – 2014. KKP menghendaki sebagai produsen terbesar dan mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan. Langkah-langkah yang diperlukan tidak hanya berorientasi produk tapi juga harus berorientasi pasar diantaranya sebagai berikut:

1. Mencegah dan menindak tegas para pelaku yang melakukan kegiatan impor ikan illegal, karena produk impor tersebut dapat mematikan usaha perikanan dan mengancam kesehatan manusia.

2. Meningkatkan penetrasi pasar dalam negeri dengan membangun sistem informasi, jaringan perdagangan perikanan, dan penguatan kelembagaan pasar ikan dalam negeri.

3. Meningkatkan daya saing dan kemampuan sumberdaya manusia, teknologi, dan permodalan usaha perikanan.

4. Mengupayakan efisiensi produksi perikanan melalui kemudahan transhipment, dan distribusi saprokan ke sentra-sentra produksi budidaya, dan mengurangi pungutan bertingkat seperti PHP dan sejenisnya.

5. Menghilangkan hambatan birokrasi yang bertele-tele dan berlama-lama serta meniadakan pungli.

6. Mendorong kinerja ekspor dengan berbagai fasilitas.

7. Meningkatkan kepatuhan pendaratan ikan dan mendistribusikannya secara merata.

8. Membatasi impor ikan dengan hambatan tarif (tariff barrier), tarif impor ditetapkan dan disesuaikan dengan posisi harga dan kualitas produk perikanan yang mampu dihasilkan Indonesia.

9. Membatasi impor ikan dengan hambatan non tarif (non tarif barrier), non tarif melalui kuota, selektivitas jenis ikan tertentu misalnya Salmon untuk restoran, sertifikat hasil tangkapan ikan yang diterapkan negara-negara Uni Eropa, ecolabelling oleh Marine Steward Council (MSC), langkah negara maju ini patut ditiru.

10. Mendorong negara-negara ASEAN dan China untuk melaksanakan SHTI form pertama dan turunannya sebagai upaya mencegah illegal fishing dan mengurangi kegiatan re-ekspor.

11. Meningkatkan kinerja perusahaan perikanan tangkap terpadu yang berkewajiban memenuhi kebutuhan bahan baku UPI di dalam negeri.

12. Memanfaatkan atase perdagangan dan perikanan sebagai sumber informasi dalam peningkatan akses pasar.

13. Mewaspadai surplus produksi perikanan tangkap dari negara pesaing Thailand, China, Vietnam, dan Philipina.

14. Indonesia pantas menjadi patokan harga ikan di dunia bukan Thailand.

15. Kerjasama perikanan dengan negara-negara ASEAN dan China untuk memerangi black market.

16. Koordinasi intensif dengan Kementerian Perdagangan dan Dirjen Bea dan Cukai dalam rangka sharing informasi.

Langkah-langkah tersebut perlu dirumuskan kembali dengan menyusun dokumen action plan, dokumen setidaknya berisi strategi perikanan dalam membendung impor ikan dan meningkatkan volume ekspor ikan. Maraknya berita impor ikan illegal jangan sampai dijadikan konsumsi politik.

Fenomena yang berbeda tapi masih ada kaitannya, disela-sela konferensi negara-negara G 20, Presiden Perancis Nicolas Sarkozi mengungkapkan kekhawatirannya akan kenaikan harga pangan yang diakibatkan kenaikan harga BBM dan perubahan iklim. Melemahnya dolar US akhir-akhir ini akibat kasus mortgage, dikhawatirkan negara-negara produsen pangan membiarkan penguatan mata uangnya, sehingga menurunkan kinerja ekspor pangan, dan ini dikhawatirkan oleh negara-negara maju. Apakah kondisi kinerja ekspor ikan Indonesia menurun ditengah penguatan rupiah secara terus-menerus. Tulisan lain akan muncul kembali setelah praktek ekspor ikan illegal terungkap di media.

Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

Cara Menilai atau Evaluasi Hasil Study Tour atau Studi Banding

TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)