Integrasi Sapi Sawit

Secara teoritis perkebunan sawit seluas 8 juta ha dapat menampung minimal 16 juta ekor ternak sapi dewasa. Ini merupakan potensi yang luar biasa, bukan hanya mampu memenuhi swasembada daging sapi, tetapi juga dapat mengekspor sapi potong.
Keterkaitan timbal balik antara tanaman dan ternak dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus memberi tambahan pendapatan yang berasal dari naiknya produksi tanaman, hasil ternak yang dipelihara, dan efisiensi penggunaan lahan. Oleh karena itu integrasi sapi-sawit menjadi perhatian serius. Apabila dirinci lebih mendalam maka sistem integrasi sapi-sawit berdampak pada tiga aspek, diantaranya: (1) ternak diusahakan dengan biaya murah, pakan tersedia, kotoran ternak tersedia sebagai pupuk organik, (2) tanaman kelapa sawit meningkat produksinya, dan (3) pendapatan pekebun dan atau peternak meningkat. Tenaga sapi juga dapat digunakan untuk mengangkut sawit pada topografi lahan yang bergelombang.
Perkebunan kelapa sawit berkembang di Sumatera dan Kalimantan yang justru bukan sentra peternakan sapi potong. Hal ini memberikan implikasi ganda, yaitu: (1) terbuka peluang baru, (2) masih terbatasnya implikasi integrasi sapi-sawit karena kurangnya budaya ternak di kawasan tersebut. Perkebunan rakyat menganggap prospektif dalam integrasi sapi-sawit. Akan tetapi perkebunan besar masih belum sepenuhnya mengadopsi.
Dengan adanya integrasi sapi-sawit, maka industri pakan dan pola pengembangan sapi potong secara terpadu dalam suatu sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit berpotensi berkembang. Di Malaysia, pelepah sawit telah diproses dalam bentuk pelet dan diberikan kepada ternak sapi dengan kualitas yang lebih baik. Selain itu dengan integrasi sapi-sawit kendala pakan hijauan yang dihadapi Indonesia akan terpenuhi karena sangat luasnya perkebunan sawit.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sistem integrasi sapi-sawit belum meluas, padahal cukup banyak keuntungan yang dapat diperoleh, baik oleh pemilik perkebunan maupun peternak. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa integrasi sapi-sawit lebih banyak diadopsi oleh perkebunan rakyat daripada perkebunan besar swasta dan negara. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh manajemen perkebunan sawit dan sistem pemeliharaan ternak.
Integrasi sapi – sawit pada perkebunan rakyat
Sistem integrasi sapi – sawit agaknya lebih mudah dipraktekkan pada perkebunan rakyat. Hal ini disebabkan oleh sistem manajemen yang tidak mengikat dalam pemeliharaan ternak dan pengelolaan kebun. Pemeliharaan sapi di lahan perkebunan sawit rakyat sangat beragam, bergantung pada lingkungannya. Pada dasarnya ternak sapi dipelihara dengan dua cara, yaitu: (1) pola ekstensif, yakni ternak dilepas bebas di bawah tanaman sawit dan dikandangkan sore hari, (2) pola intensif, dimana ternak dikandangkan sepanjang waktu.
Pada pola ekstensif, jarak antara kandang dan kebun umumnya cukup dekat. Apabila jarak terlalu jauh maka dapat menyita tenaga kerja untuk pengawasan ternak (Mastur dan Kristianto 2009). Sistem kandang kelompok atau individu yang dibangun di dalam kebun sawit akan mempermudah pengumpulan kotoran sapi, yang menjadi sumber pupuk organik.
Sumber pakan terdiri dari hijauan yang tumbuh di area kebun, pelepah, dan daun serta buah kelapa sawit yang rontok pada saat pemanenan. Dengan sistem ini peternak masih harus mengarit rumput selama 2 – 3 jam/hari. Karena ketersediaan pakan yang melimpah maka skala usaha ternak sapi – sawit lebih besar dibanding sapi rakyat. Kepemilikan sapi di kebun sawit meningkat dari 2 ekor menjadi 4 – 6 ekor/peternak (Mastur dan Kristianto 2009).


Integrasi sapi – sawit pada perkebunan besar
Adopsi sapi – sawit oleh perkebunan besar dirasa sulit karena manajemen perkebunan besar milik swasta maupun negara dikarenakan adanya SOP yang baku, dimana perusahaan suda berorientasi pada efisiensi dan efektivitas. Pekerjaan oleh oleh karyawan sudah rutin meliputi panen, pengangkutan TBS, dan perawatan perkebunan. Pada beberapa perkebunan, setiap tenaga kerja mempunyai tanggung jawab lokasi seluas 15 ha, dibantu oleh seorang tenaga perawat tanaman dan alat bantu angkutan TBS. Biasanya tugas-tugas tersebut sudah dibagi habis sampai skala terkecil. Oleh karena itu adanya tambahan tugas selain aktivitas rutin menjadi pertimbangan khusus bagi perkebunan besar. Sehingga komoditas tambahan seperti sapi potong dianggap sebagai intrusi terhadap usaha perkebunan.
Lambatnya perusahaan besar mengadopsi integrasi sapi – sawit mungkin disebabkan oleh masih minimnya informasi sistem integrasi tersebut. Misalnya informasi tentang SOP teknologi produksi sapi – sawit. Selain itu besarnya modal dan fasilitas tambahan. Sosialisasi dan promosi integrasi sapi – sawit perlu dilaksanakan secara kontinyu.
Informasi kualitatif dan kuantitatif dari implementasi integrasi sapi – sawit masih relatif minim dan perlu terus dilengkapi di masa mendatang, sehingga wacana integrasi dapat diterima dengan pengertian yang lebih komprehensif oleh berbagai pihak terkait. Untuk itu perlu didorong penelitian lebih lanjut yang bersifat multidisiplin, khususnya mengenai dampak teknis, sosial, dan ekonomi sapi – sawit.
Disarankan agar sistem integrasi sapi – sawit diadvokasi ke berbagai pihak agar implenetasinya dapat diperluas. Bukti otentik dan pengalaman integrasi sapi – sawit hendaknya disebarluaskan ke berbagai pihak terkait. Pihak-pihak yang relevan meliputi pemerintah, pemerintah daerah, perkebunan kelapa sawit, organisasi perkebunan dan peternakan, petani-pekebun, dan pengusaha sapi potong di Indonesia.

Daftar Pustaka
Bamualim A., Dinamika Integrasi Tanaman Ternak di Perkebunan Sawit. Prosiding 2012. Balibang Pertanian.
Sumarno, Soedjana T., Suradisastra K. 2012 Membumikan IPTEK Pertanian. Balitbang Pertanian.




Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

PARTISIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) PERENCANAAN PERDESAAN SECARA PARTISIPATIF

DOKUMEN HARVEST STRATEGY RAJUNGAN