ANALISIS KEBIJAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP TERKINI


1 PENDAHULUAN
             
            Latar belakang

Awalnya pertimbangan kebijakan usaha perikanan tangkap pada Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 diarahkan pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta sesuai dengan persyaratan yang telah diatur dalam ketentuan internasional yang berlaku, sekaligus  sebagai pelaksanaan Pasal 32 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Setelah mengalami revisi ke-9 melalui Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 57/Permen-KP/2014  pertimbangan kebijakan berubah yaitu  untuk  mewujudkan  pengelolaan  sumber  daya perikanan yang  bertanggung  jawab  dan  menanggulangi Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di Wilayah Pengelolaan  Perikanan  Negara  Republik  Indonesia  (WPP-NRI),  perlu  menghentikan  kegiatan  alih  muatan (transhipment) di laut. Kegiatan transhipment sulit untuk dikontrol oleh Negara. Meskipun dunia internasional mengakui praktek transhipment dengan ketentuan pelaporan hasil tangkapan.
Pengendalian usaha perikanan tangkap melalui instrumen perizinan sangat penting. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan ditentukan oleh data estimasi potensi dan data realisasi pemanfaatan SDI. Data statistik perikanan tangkap (2013) menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap sudah melebihi 5 juta ton per tahun, artinya tingkat pemanfaatan SDI diperkirakan sudah 80% atau lebih. Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap SDI sangat tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, setidaknya beberapa hal penting yang menjadi fokus kabinet kerja dalam kebijakan usaha perikanan tangkap antara lain: 1) Pengelolaan dan pemanfaatan SDI bagi kepentingan bangsa dan negara/asas kedaulatan (sovereignity); 2) Memperhatikan prinsip kelestarian SDI dan lingkungannya/asas keberlanjutan (sustainability); 3) Pemanfaatan potensi SDI secara optimal/asas kesejahteraan (prosperity);
Gagasan baru setiap pemerintahan sangat mempengaruhi kebijakan usaha perikanan tangkap, bahkan policy maker tidak melihat sejarah kebijakan tersebut. Secara historis perkembangan kebijakan usaha perikanan tangkap sulit diimplementasikan oleh Pemerintah karena terlalu sering direvisi atau diperkirakan hampir setiap tahun mengalami perubahan. Dalam hal ini dipandang perlu kiranya untuk menilai mutu kebijakan usaha penangkapan ikan secara baik.
Sebuah kebijakan publik akan bermutu jika dilakukan dengan tahap-tahap penyusunan kebijakan publik.  Menurut William Dunn (1999:24-25 ) tahap penyusunan kebijakan sebagai berikut: 1) Penyusunan Agenda adalah sebuah proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah terdapat ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dibahas/dipertentangkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1999:24-25), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) yaitu: a) telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; b) telah mencapai tingkat partikularitas tertentu  berdampak dramatis; c) menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; d) menjangkau dampak yang amat luas; e) mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat; f) menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya). 2) Formulasi kebijakan; masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif dipersandingkan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil dalam memecahkan masalah. 3) Adopsi/ Legitimasi Kebijakan; tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi bahwa apa yang dilakukan pemerintah berada pada koridor yang dapat dipertanggung jawabkan secara legal. Disisi lain pelaksana kebijakan dapat perlindungan dan masyarakat yang mengikuti sebagai pemegang kedaulatan dapat mendukungnya, karena kebijakan tersebut diarahkan untuk kepentingan mereka, dalam menghadapi masalah publik yang dihadapi. Dukungan dari masyarakat penting kedudukannya karena mayarakat merupakan pemegang kedaulatan  dan akan mempermudah proses implementasinya. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.  4) Penilaian/ Evaluasi Kebijakan; Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun  dampak kebijakan.
Menilai mutu harus secara total sesuai pendapat Juran (1998 p. 372) yang menjelaskan konsep Total Quality Management (TQM) sebagai serangkaian proses manajemen dan sistem yang menciptakan pelanggan senang melalui pemberdayaan karyawan, sehingga menyebabkan pendapatan yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah. Ross dan Perry (1999 p.1) menjelaskan TQM sebagai integrasi semua fungsi dan proses dalam sebuah organisasi untuk mencapai perbaikan terus-menerus kualitas barang dan jasa yang bertujuan"kepuasan pelanggan". Zairi (1994) mendefinisikan TQM sebagai gabungan dari seluruh teknik, prinsip-prinsip manajemen, teknologi dan metodologi yang disatukan untuk kepentingan konsumen akhir. Menurut Dean dan Bowen (1994), TQM adalah filosofi atau pendekatan manajemen yang dapat ditandai dengan prinsip-prinsip, praktek dan teknik. Tiga prinsip adalah: fokus pelanggan; perbaikan terus-menerus; dan kerja sama tim.
Berdasarkan pendapat ilmuwan mutu di atas dapat ditegaskan bahwa perbaikan mutu produk dan atau jasa fokus pada kepuasan pelanggan dengan cara pemberdayaan karyawan dan kerjasama tim. Selanjutnya W. Edwards Deming memperkenalkan siklus perbaikan mutu.  PDCA, singkatan bahasa Inggris dari "Plan, Do, Check, Act"  adalah suatu proses pemecahan masalah empat langkah integratif yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas. Deming sendiri selalu merujuk metode ini sebagai siklus Shewhart, dari nama Walter A. Shewhart, yang sering dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas statistis. Deming memodifikasi PDCA menjadi PDSA ("Plan, Do, Study, Act") untuk lebih menggambarkan rekomendasinya. PDCA seringkali dipergunakan dalam kegiatan KAIZEN dan DMAIC dipergunakan pada aktivitas LEAN SIX SIGMA. PDCA sangatlah cocok untuk dipergunakan untuk skala kecil, kegiatan continues improvement untuk memperpendek siklus kerja, menghapuskan pemborosan di tempat kerja dan peningkatan produktivitas. Sementara DMAIC akan lebih powerfull dalam hal menghilangkan varian output, kestabilan akan mutu, improve yield, situasi yang lebih komplek, struktur penghematan biaya, dan efektivitas organisasi bisnis.
Proses perbaikan mutu sangat bertumpu pada kinerja karyawan. Karyawan sangat berhubungan erat dengan proses perbaikan mutu, dan kinerja karyawan dipengaruhi oleh kemampuan pimpinan dalam mempengaruhi kinerja karyawannya. Adopsi inovasi sesuai dengan harapan pelanggan akan memaksa SDM karyawan untuk beradaptasi. Adopsi inovasi ini sering dilakukan didahului dengan proses pelatihan karyawan yang dilakukan terus menerus sesuai kebutuhan dan harapan pelanggan. Proses adaptasi karyawan ini yang menyebabkan perubahan budaya secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan pendapat Dale (2003 p.77) bahwa dasar dari TQM adalah Pengorganisasian, Sistem dan teknik, perubahan Kebudayaan dan Pengukuran serta umpan balik. Selanjutnya Dale membagi evolusi manajemen mutu menjadi empat tahap antara lain inspeksi, kontrol kualitas (QC), dan jaminan kualitas (QA) dan manajemen kualitas total (TQM).
Penilaian mutu kebijakan usaha penangkapan ikan dapat dilihat dari beberapa pendekatan. Pendekatan yang dilakukan negara-negara maju adalah dengan penilaian pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (ecosystem approach to fisheries management). EAFM mengelompokkan masalah ke dalam: habitat dan ekosistem, konservasi, sosial ekonomi, dan tata kelola. Secara umum, tujuan dari pendekatan EAFM adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat, tanpa membahayakan pilihan untuk generasi mendatang dalam mendapatkan keuntungan dari berbagai barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem laut (FAO, 2009).


Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
-      Menilai mutu kebijakan usaha penangkapan ikan.
-      Merekomendasikan perbaikan mutu kebijakan usaha penangkapan ikan

Ruang lingkup
Penilaian kebijakan usaha penangkapan ikan hanya pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengatur tentang usaha perikanan tangkap. Kebijakan dan peraturan lainnya yang terkait pengelolaan perikanan tangkap tidak dinilai. Penilaian bersifat subjektif sesuai pemahaman dan pengamatan peneliti.

Metode
Metode yang digunakan dalam menilai kebijakan usaha penangkapan ikan yaitu persepsi penulis dengan menggunakan indikator EAFM yang diadopsi dari FAO bidang perikanan. Indikator dinilai dengan skor 1 – 5 atau setara dengan 20 – 100. Kebijakan usaha penangkapan ikan memiliki variabel-variabel penting kemudian dianalisis dengan domain EAFM. Domain EAFM yang digunakan yaitu sosial ekonomi, tata kelola kelembagaan, teknik penangkapan ikan, dan sumber daya ikan/lingkungannya. Selain itu penilaian ditambahkan dengan variabel reliabilitas yang menunjukkkan kehandalan dan stabilitas kebijakan.
Hasil penilaian dikelompokkan menjadi 5 kategori: (1) buruk dengan warna merah, nilai skor ≤ 20; (2) kurang baik dengan warna kuning muda, nilai skor > 20 sd 40; (3) sedang dengan warna kuning tua, nilai skor > 40 sd 60; (4) baik dengan warna hijau muda, nilai skor > 60 sd 80; (5) baik sekali dengan warna hijau tua, nilai skor > 80 sd 100.

2 HASIL DAN PEMBAHASAN

 Manajemen kebijakan usaha perikanan tangkap
Sejak reformasi bergulir, rezim pemerintahan memiliki semangat desentralisasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dalam perjalanannya mengalami penyempurnaan hingga akhirnya dikeluarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi dapat diartikan sebagai pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab atas fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada daerah. Dengan dikeluarkannya payung hukum atas desentralisasi, maka dimungkinkan Pemerintah daerah beserta masyarakat untuk mengoptimalkan sumberdaya yang ada sebagai sebuah bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan. Pembagian sub urusan perikanan tangkap antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sesuai tabel berikut.
Tabel 1 Pembagian urusan perikanan tangkap
No.
Pusat
Provinsi
Kab/Kota
1
Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas
12 mil.
Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan 12 mil.
Pemberdayaan nelayan
kecil dalam Daerah
kabupaten/kota.
2
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan
berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
Pengelolaan dan
penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

3
Penerbitan izin usaha
perikanan tangkap
untuk:
a. kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT);
dan
b. di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.
Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
-
4
Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan nasional dan internasional.
Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
-
5
Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan
kapal pengangkut ikan
dengan ukuran di atas
30 GT.
Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.

-
6
Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
-
-

Selain itu Pemerintah aktif berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan secara global. Keterlibatan dan partisipasi diantaranya sebagai berikut:
1)    Compliance agreement to promote conservation and management measures for fishing vessels in the High Seas, 1993.
2)    United Nations Fish Stock Agreement, 1995.
3)    Annual and joint meeting Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
4)    Annual Comitee on Fisheries, Food and Agriculture Organisation (COFI, FAO).
5)    Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC).
6)    Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
7)    Uni Eropa (UE).

Hubungan sub urusan perikanan tangkap antara pusat dan daerah sangat jelas. Kejelasan tersebut memberikan harapan baru untuk mengurangi tumpang tindih tugas dan fungsi sehingga Pemerintahan menjadi tidak efektif dan efisien. Dalam visi ke depan sub urusan perikanan tangkap dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.  Pemerintah Pusat memiliki urusan perikanan tangkap yang lebih kompleks dibandingkan dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Urusan tersebut berkaitan dengan pengelolaan perikanan baik nasional maupun internasional.
b.   Integrasi data alokasi dan realisasi usaha penangkapan ikan dapat segera terwujud.
c.  Otoritas pemberi izin dan pengawasan harus membangun sistem input dan output control yang terintegrasi sehingga setiap kapal perikanan memiliki rekam jejak yang dapat menentukan kuantitas dan kualitas pemberian izin.
d.     Pemerintah Kab/Kota fokus pada pelayanan pelelangan ikan dan pemberdayaan nelayan kecil.
Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap jangka panjang hendaknya mengacu pada perencanaan nasional jangka panjang yang memiliki kekuatan hukum, politik, dan administratif sehingga mampu bersinergi dan berorientasi ke depan dengan arah kebijakan yang jelas.
Penyusunan kebijakan usaha penangkapan ikan harus mempertimbangkan teori dari Montesquieu yang membagi kekuasan negara dalam tiga kelompok besar yang terkenal dengan ”Trias Politica” dalam bukunya yang terkenal L’ Esprit des Lois yaitu: 1) Pouvoir Legislatif yaitu kekuasaan dalam hal pembutan peraturan perundang-undangan; 2) Pouvoir Eksekutif yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang dibuat lembaga legislatif. 3) Pouvoir Yudicatif yaitu kekuasaan untuk menjaga agar undang-undang tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh eksekutif.
Namun demikian dalam penyusunan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan peran legislatif tidak terlihat. Oleh karena itu, keterlibatan pemangku kepentingan perikanan tangkap pelaku usaha, asosiasi perikanan tangkap, dan akademisi diharapkan berperan sebagai legislatif dengan menyuarakan kebutuhan dan kepentingan masyarakat perikanan Indonesia. Eksekutif mempunyai peran dalam merencanakan melaksanakan kebijakan usaha penangkapan ikan. Yudikatif berperan sebagai penegakan hukum. Tata kelola kelembagaan dalam kebijakan usaha penangkapan ikan yang bermutu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2 Siklus mutu dan tahap kebijakan
No.
Siklus Mutu
Proses Policy
Tata Kelola Kelembagaan
Eksekutif
Legislatif
Yudikatif
1.
Plan





Quality control(QC)
Agenda: Setting Problem
Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen PSDKP, Ditjen P2HP, Setjen KP
Asosiasi, Pelaku usaha, Akademisi
-

Quality control(QC)
Formulasi: Prioritas, tujuan, alernatif solusi
Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen PSDKP, Ditjen P2HP, Setjen KP
Asosiasi, Pelaku usaha, Akademisi
-
2.
Do





Quality assurance (QA)
Legitimasi


Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Hukum dan Ham, Sekretariat Negara
Asosiasi, Pelaku usaha, Akademisi
-

Quality control(QC)
Adopsi
Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen PSDKP, Pemda, Pemkab/kot
TNI/POLRI/
Asosiasi, Pelaku usaha
Peradilan Perikanan
3.
Check/study





Quality control(QC)
Evaluasi
Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen PSDKP, Pemda, Pemkab/kot
Asosiasi, Pelaku usaha
Peradilan Perikanan
4.
Act






Tindaklanjut
Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen PSDKP,  Setjen KP.
-
-

Kebijakan usaha penangkapan ikan dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan menunjuk Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sebagai penanggungjawab. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat juga bahwa pelanggan kebijakan usaha penangkapan ikan tidak hanya pelaku usaha penangkapan ikan atau nelayan akan tetapi pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif sangat berkepentingan terhadap perkembangan dan mutu kebijakan tersebut.          
Kebijakan dirumuskan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindaklanjut. Hasil evaluasi menjadi bahan masukan untuk merevisi kebijakan tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Hukum dan Ham, dan Sekretariat Negara serta pihak non pemerintah menjamin legitimasi kebijakan (quality assurance). Sedangkan pengendalian kualitas dilakukan pada setiap tahapan penyusunan. Pengendalian kualitas biasanya mengenai keterbacaan, bahasa hukum, dampak kebijakan, dan pemahaman.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap harus mampu meningkatkan partisipasi masyarakat perikanan dan pemangku kepentingan untuk bekerjasama dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Pita et al., (2010) menjelaskan pentingnya partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Partisipasi perlu terstruktur dengan baik, terbuka dan transparan, berkontribusi dalam pengambilan keputusan nyata, dan perlu ada ruang untuk tawar-menawar dan mencapai kompromi (Wilson, 2003).
Kebijakan Pemerintah yang selama ini bersifat top down dengan regulasi hukum yang disampaikan ke masyarakat melalui Dinas terkait dianggap tidak humanistik, oleh karena formulasi kebijakan yang bersumber dari basic riset formal tanpa melibatkan masyarakat dalam penelitiannya mengakibatkan kebijakan itu tumpul dan akhirnya terjadi pasang surut kebijakan. Kebijakan yang tidak menentu tersebut akhirnya menjadikan masyarakat perikanan sebagai objek uji coba yang sangat merugikan bahkan tanpa ada upaya ganti rugi.
Komunitas atau organisasi tidak hanya berperan sebagai whistleblowing. Akan tetapi partisipasi aktif masyarakat perikanan melalui komunitas atau kerjasama Pemerintah dengan komunitas dalam merencanakan, mengelola, dan melaksanakan kebijakan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena manusia merupakan faktor penting dalam pengelolaan perikanan. Partisipasi mengakibatkan pengelolaan perikanan akan berkembang dan berbudaya unggul. Sependapat dengan Dale (2003 p.77) bahwa dasar dari TQM adalah pengorganisasian, sistem dan teknik, perubahan kebudayaan dan Pengukuran serta umpan balik.

Penilaian mutu kebijakan usaha perikanan tangkap
Kebijakan usaha penangkapan ikan mengalami pasang surut atau bongkar pasang sesuai dengan perkembangan lingkungannya. Sejarah kebijakan usaha penangkapan ikan sebagai berikut:

(1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha                        Perikanan Tangkap;
(2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan 
     Tangkap;
(3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.12/MEN/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan      Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : PER.05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap;
(4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.14/MEN/2011 Tentang Usaha Perikanan
     Tangkap;
(5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.49/MEN/2011 Perubahan Atas Peraturan Menteri
     Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2011 Tentang Usaha Perikanan Tangkap;
(6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.12/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap
     di Laut Lepas.
(7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.30/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap
     di Wilayah Pengelolaan Perikanan.
(8)  Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26/Permen-KP/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
(9)  Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 57/Permen-KP/2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kebijakan usaha penangkapan ikan dari tahun 2006 hingga tahun 2015 (9 tahun) telah mengalami 9 kali perubahan. Perubahan yang terlalu sering ini mengakibatkan ketidakpastian hukum sehinggga iklim usaha penangkapan ikan menjadi tidak kondusif. Kebijakan tersebut secara umum mendapatkan respon negatif, namun perlu analisis lebih lanjut untuk menilai mutu secara lebih baik dan rasional. Variabel yang substantif kebijakan usaha penangkapan ikan yang berpotensi dan selalu berubah dalam kurun waktu 9 tahun sebagai berikut:

1) Kegiatan usaha dan jenis perizinan usaha perikanan tangkap semakin berkembang dan pengaturannya semakin rumit. Usaha pengangkutan ikan menjadi sangat kompleks pada kebijakan usaha perikanan tangkap. Selain itu usaha penangkapan ikan dan pengangkutan juga dibedakan dalam pola yang berbeda yaitu melalui satu kesatuan manajemen usaha, kerjasama usaha, dan kemitraan. Kompleksitas dan spesialisasi ini akan membawa dampak positif apabila kebijakan ini dapat diimplementasikan secara konsisten, dan akan berdampak terhadap peningkatan nilai investasi. Dengan adanya jenis usaha atau pola usaha baru seharusnya menarik minat investor. Akan tetapi pelaku usaha baru dibidang perikanan tangkap akan melihat secara utuh kebijakan usaha perikanan tangkap.
2)     Kewenangan penerbitan izin mengacu pada PP Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan, walaupun PP ini mengacu pada Undang-undang Perikanan yang lama tetap menjadi acuan apabila: 1) belum ada penggantinya, 2) kalusulnya tidak bertentangan dengan Undang-undang Perikanan yang baru. Namun demikian kami melihat PP ini tidak diacu sepenuhnya seperti misalnya dalam PP tersebut kewenangan penerbitan juga mencakup kekuatan mesin, artinya bahwa sebenarnya PP ini sudah diabaikan atau dianggap sudah tidak berlaku. Hal ini merupakan kekeliruan yang besar seharusnya PP ini direvisi terlebih dahulu dengan mengusulkan kebijakan-kebijakan strategis dalam usaha perikanan. Kewenangan penerbitan izin harus ditinjau lagi oleh karena terbit UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

3)  Persyaratan izin semakin bertambah dan menjadi rumit terutama puncaknya pada tahun 2013, diantaranya kapal tidak terdaftar IUU fishing dan realisasi pembangunan UPI untuk usaha perikanan tangkap terpaadu. Tujuannya ingin mencegah tindakan IUU fishing dan penyalahgunaan/penyelundupan hasil tangkapan. Namun dalam konteks usaha perikanan tangkap banyaknya persyaratan akan merepotkan pelaku usaha yang akan melakukan perpanjangan izin. Satu jenis persyaratan secara fakta di lapangan akan menimbulkan persyaratan turunan dan berdampak akan timbulnya biaya ekonomi tinggi.

4)   Tata cara/proses penerbitan izin diatur oleh Menteri dan menjadi pedoman bagi daerah. Hal ini sesuai amanah Undang-undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 32. Menteri menetapkan kebijakan usaha perikanan tangkap sudah seharusnya dilengkapi dengan instrument sistem pelayanan usaha penangkapan ikan (SIPEPI) untuk memudahkan proses adaptasi dan implementasi kebijakan tersebut.

5)      Masa berlaku izin sering berubah-ubah, dan ke depan diharapkan tidak mengalami perubahan lagi karena sudah menemukan kesepakatan yang tepat. Khusus untuk SIPI dan SIKPI setiap tahun sedangkan SIUP berlaku selama orang melakukan usaha penangkapan ikan.

6) Jangka waktu perubahan SIUP/SIPI/SIKPI belum menemukan bentuk yang pas. Substansi perubahan akan berpengaruh terhadap pemanfaatan SDI di suatu WPP perlu kajian yang mendalam, akan tetapi sepanjang peluangnya masih ada boleh dilakukan kapanpun. Apalagi hanya sekedar perubahan pelabuhan dan data administrasi.

7)    Pengadaan kapal perikanan dengan ukuran tertentu tidak konsisten dan cenderung berubah, belum menemukan ukuran GT kapal yang pas.

8)  Pemeriksaan Fisik Kapal Perikanan merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses perizinan SIPI/SIKPI, namun pada pelaksanaannya membutuhkan waktu lama. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan pada SIPI baru atau perubahan alat tangkap.

9)  Tindakan konservasi merupakan prinsip kehati-hatian yang perlu dilakukan dalam pengelolaan SDI. Amanah Undang-undang Nomor: 31 Tahun 2004 Pasal 6. Prinsip ini bersamaan dengan prinsip manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Tindakan konservasi untuk melestarikan spesies ERS tuna dan sumber daya ikan ETP.

10)  Dokumen di atas kapal seharusnya berkorelasi dengan pengaturan/SOP pemeriksaan di atas kapal, ini membutuhkan kesepakatan berbagai pihak demi kenyamanan usaha perikanan tangkap.
11)  Pengaturan  tenaga kerja asing harus mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja khususnya pelaut yang memiliki kompetensi sebagai nahkoda dan tenaga ahli.

12)  Daerah penangkapan dan pelabuhan pangkalan, untuk kapal berukuran di atas 100 GT hanya diperbolehkan menangkap ikan di ZEEI, sedangkan untuk pemberian jumlah pelabuhan pangkalan dan muat/singgah masih berubah-ubah. SIB dan SLO hanya diberikan di Pelabuhan Pangkalan ini menyulitkan nelayan lokal yang melewati pulau-pulau pada waktu menuju atau pulang dari fishing ground jika diperjalanan terjadi kendala. Penetapan alokasi pelabuhan pangkalan tanpa analisis data produksi akan menyulitkan nelayan dalam pendistribusian hasil tangkapan dengan harga yang layak. Dengan alasan mengendalikan pencatatan laporan penetapan pelabuhan pangkalan yang hanya satu akan mematikan usaha perikanan tangkap ini masalah yang harus dicari solusinya.

13) Transhipment, semakin tingginya harga BBM maka semakin besar biaya operasi yang diperlukan. Solusi yang diharapkan nelayan adalah dengan diperbolehkan transhipment. Kebijakan ini pada awalnya hanya boleh untuk pola usaha satuan armada, satu kesatuan manajemen usaha, kerjasama usaha dan kemitraan akan tetapi menjadi sangat terbatas hanya untuk alat tangkap tertentu yang diawasi observer serta untuk kapal perikanan kurang dari 10 Gt ke kapal pengangkut yang menjadi mitranya. Adopsi dan legitimasi aturan Internasional tentang transhipment at sea tidak relevan untuk nelayan lokal yang tidak menangkap ikan tuna atau pelagis besar lainnya. perubahan signifikan pelarangan transhipment secara total melalui Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 57/Permen-KP/2014.

14)  Usaha perikanan tangkap terpadu tetap konsisten walaupun telah terjadi revisi beberapa kali. Arah kebijakan ini yang semula untuk mengakomodir orang atau badan hukum asing yang akan melakukan usaha penangkapan ikan harus melalui pola usaha perikanan tangkap terpadu, kemudian terjadi perluasan arah pada tahun 2008 mencakup swasta nasional untuk kapal dengan akumulasi 2000 GT/asal pengadaan luar negeri wajib mengolah ikan dengan memiliki UPI atau kerjasama pengolahan. Selanjutnya pada tahun 2011 usaha perikanan tangkap terpadu bersifat umum dan merupakan optional bukan suatu kewajiban. pada tahun 2012 tambahan izin alokasi kapal sebagai insentif bagi usaha perikanan terpadu atau yang melakukan pengolahan ikan. Pada tahun 2013 kebijakan industrialisasi mempertegas bagi seluruh perusahaan perikanan yang memiliki kapal perikanan akumulasi 2000 GT wajib dengan pola usaha perikanan tangkap terpadu.

15)  Pembinaan dan pengawasan sebaiknya sesuai kewenangan penerbitan izin agar supaya ada kejelasan penanggung jawab. Peran Syahbandar dan Pengawas perikanan dipertegas.

16)  Sanksi, pengaturan ranah sanksi administratif dan/atau sanksi pidana harus jelas. Hal ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum bagi nelayan. Menurut Von Feuserback seorang Sarjana Hukum Jerman (1775 – 1833) dijelaskan bahwa tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege). Tindak pidana hampir semuanya diikuti kata perbuatan.

17)  Pencabutan izin karena sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi apalagi izin diaktifkan lagi, dikecualikan untuk kapal yang dengan alasan operasional dan itikad baik mengembalikan izin. Kapal perikanan yang tidak mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dikenakan sanksi pencabutan SIPI.

18)  Ketentuan peralihan menjadi tidak efektif manakala kebijakan ini sering berubah-ubah.

19)  Ketentuan penutup selalu menyatakan bahwa peraturan ini mulai berlaku sejak ditetapkan dan diundangkan, tidak berlaku surut. Menurut Kansil CST., dkk, 2003 dijelaskan bahwa syarat berlakunya suatu undang-undang ialah setelah diundangkannya dalam Lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara. Sedangkan mulai mulai berlakunya undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Jika tanggal dan bulan tidak disebutkan maka undang-undang mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan untuk Jawa dan Madura dan daerah lain baru berlaku 100 hari setelah pengundangan maka berlaku suatu fiksi dalam hukum setiap orang dianggap telah mengetahuinya adanya suatu undang-undang. Suatu undang-undang tidak berlaku jika:
a.       Jangka waktu berlaku yang ditentukan undang-undang telah habis.
b.      Keadaan atau hal untuk apa undang-undang diadakan sudah tidak ada.
c.       Undang-undang itu dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.

Penilaian mutu kebijakan usaha penangkapan ikan akan menggunakan pendekatan EAFM. Model pengelolaan EAFM diadopsi dari FAO. Pada tahun 2010 EAFM dikembangkan di Indonesia yang diinisiasi oleh Direktorat Sumber Daya Ikan, WWF, PKSPL-IPB, dan USAID. EAFM terdiri dari 5 domain: 1) Sumber daya ikan, 2) Habitat dan ekosistem, 3) Teknis penangkapan ikan, 4) Sosial ekonomi, dan 5) Tata kelola kelembagaan.
Kelima domain tersebut sebagai alat penilaian dikembangkan menjadi 31 indikator sebagai berikut:
1) Sumber daya ikan, dengan indikator: CPUE baku, ukuran ikan, Proporsi juvenil, Komposisi spesies, Range colapse SDI, Spesies ETP.
2)   Habitat dan ekosistem, dengan indikator: Kualitas perairan, Status lamun,  Status mangrove, Status terumbu karang, Habitat unik/khusus, Status estuari.
3)  Teknis penangkapan ikan, dengan indikator: Penangkapan yang merusak, Modifikasi alat tangkap, Kapasitas dan upaya penangkapan, Selektivitas penangkapan, Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, Sertifikasi awak kapal.
4) Sosial ekonomi, dengan indikator: Kepemilikan aset, Nilai tukar nelayan, Pendapatan rumah tangga, Saving rate, Partisipasi stakeholders, Konflik perikanan, Pengetahuan lokal.
5)  Tata kelola kelembagaan, dengan indikator: Kepatuhan, Kelengkapan aturan pengelolaan, Mekanisme kelembagaan, Rencana Pengelolaan Perikanan, Sinergitas kebijakan dan kelembagaan, kapasitas stakeholders.

Indikator EAFM sebenarnya untuk menilai pengelolaan perikanan tangkap secara umum, akan tetapi dapat disesuaikan dalam menilai kebijakan usaha penangkapan ikan. Perhitungannya akan disederhanakan sesuai isi dan substansi kebijakan tersebut. Penilaian menggunakan bobot, skoring, dan ranking. Skala 1 – 5 sebanding dengan (20 – 100). Setiap domain akan ditambahkan indikator baru yang dianggap penting yaitu reliabilitas untuk mengukur keajegan kebijakan usaha penangkapan ikan. Reliabilitas dengan skala 1 – 5. Dalam menilai variabel kebijakan usaha penangkapan ikan dilakukan penyesuaian indikator EAFM sesuai kebutuhan dan relevansinya. Bobot dan skor dapat dideskripsikan dengan warna merah (buruk), kuning muda (kurang baik), kuning tua (sedang), hijau muda (baik), dan hijau tua (baik sekali). Penilaian kebijakan usaha penangkapan ikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3 Bobot, Skor, dan Ranking Kebijakan
No.
Variabel
Indikator EAFM
Bobot  Skor
Ranking
1.
Kegiatan dan Jenis Izin Usaha

-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Reliabilitas
40+60+60+60
+60+60+60+60
+60+40
=560/10
=56
sedang
10
2.
Kewenangan Penerbitan
SIUP/SIPI/SIKPI
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Reliabilitas
40+80+60+80
+80+80+80+80
80+80
= 740/10
=74
baik
4
3.
Persyaratan SIUP/SIPI/SIKPI
Dan dokumen di atas kapal
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
-       Reliabilitas
40+40+40+40
+60+60+60+60
+60+60+60+60
+80+60+80+80
+80+60+60+80
+60+60+20
=1360/23
= 59
sedang
8
4.
Prosedur, waktu proses, dan masa berlaku SIUP/SIPI/SIKPI
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
-       Reliabilitas
40+60+60+60
+60+60+60+60
+60+80+60+60
+60+60+60+40
=940/16
=59
sedang
9
5.
Pemeriksaan Fisik dan Pengadaan Kapal Perikanan
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-Sumber daya ikan
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
-       Reliabilitas
40+60+60+60+
60+60+60+60+
60+80+80+80
+80+80+80+80
+60+60+60+60
+60+40
=1420/22
=65
baik

6
6.
Tindakan Konservasi (Bycatch, ERS, ETP,Close session)
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Pengetahuan lokal
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
-Habitat/ekosistem
   -Habitat unik/khusus
-       Reliabilitas
60+60+80+80
80+80+80+80
80+80+60+80+
80+80+80+80+
60+80+80+80+
80+80+80+80
=1840/24
= 77

baik
2
7.
Daerah penangkapan ikan dan Pelabuhan Pangkalan
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Pendapatan nelayan
-  Saving rate
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Pengetahuan lokal
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
-Habitat/ekosistem
   -Habitat unik/khusus
-       Reliabilitas
40+40+40+40+
40+60+60+60+
60+60+60+60+
60+60+80+60+
80+80+80+60+
60+80+80+60+
80+40
=1580/26
= 61
baik
7
8.
Tenaga kerja Asing
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Pendapatan nelayan
-  Saving rate
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-       Reliabilitas
60+80+80+80+
80+80+80+80+
60+60+60+60+
60+60+60+60+
60+60
660+560
=1220/18
= 68
baik
5
9.
Transhipment
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Pendapatan nelayan
-  Saving rate
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
- Reliabilitas
60+60+60+60
60+80+80+80
80+80+80+80
80+80+80+80+
80+80+80+80
+80+80+80+60
=1800/24
= 75

baik
3
10.
Usaha Perikanan Tangkap Terpadu
-  Sosial ekonomi:
-  Kepemilikan aset
-  Pendapatan nelayan
-  Saving rate
-  Konflik nelayan
-  Partisipasi stakeholders
-  Kelembagaan:
-  Kepatuhan
-  Kelengkapan aturan
-  Mekanisme
-  RPP
-  Sinergitas
-  Kapasitas SDM
-  Teknik PI:
-  Penangkapan merusak
-  Modifikasi API
-  Kapasitas penangkapan
-  Selektivitas
-  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
-  Sertifikasi awak kapal
-  Sumber daya ikan:
-  CPUE baku
-  Ukuran ikan
-  Proporsi juvenil
-  Komposisi spesies
-  Range collapse SDI
-  Spesies ETP
- Reliabilitas

80+80+80+80+
80+80+80+80+
80+80+80+80+
80+80+80+80+
80+80+80+80+
80+80+80+60
= 1900/24
=79
1


Secara umum variabel kebijakan usaha penangkapan ikan dilihat berdasarkan nilai indikator EAFM dan nilai reliabilitas dikategorikan baik. Namun jika dianalisis hanya berdasarkan indikator EAFM saja dan dengan mempertimbangkan 6 variabel kebijakan usaha penangkapan ikan serta menggunakan biplot grafik dapat terlihat jelas mutu dari kebijakan usaha penangkapan ikan memiliki kelemahan pada domain sosial ekonomi.
Selain itu jika dinilai berdasarkan kehandalan dan stabilitas dengan nilai reliabilitas 52 maka dikategorikan sedang. Hampir semua variabel sering berubah hanya variabel kewenangan perizinan dan usaha perikanan tangkap terpadu yang stabil dan jarang berubah.    



Gambar 1 Biplot mutu kebijakan usaha perikanan tangkap

Keragaman data sosial ekonomi sangat besar, hal ini dapat dimaknai bahwa benefit  sosial ekonomi dari kebijakan usaha penangkapan ikan masih rendah. Sedangkan domain lingkungan dan teknik penangkapan ikan memiliki keragaman data yang tidak besar, ini dapat dimaknai benefit lingkungan dan teknik penangkapan ikan lebih tinggi dari domain lainnya. domain sosial ekonomi dengan lingkungan tidak memiliki kedekatan gerombol data, menunjukkan karakteristik kedua domain ini sangat jauh berbeda.
Jika diperingkat berdasarkan biplot mutu, maka domain lingkungan dan sumberdaya ikan menduduki peringkat 1 dengan sumbangan terbesar dari variabel kebijakan transhipment. Peringkat 2 diduduki domain tata kelola pemerintahan (governance) dengan sumbangan terbesar variabel kebijakan konservasi sumberdaya ikan sehingga dapat dimaknai keberhasilan hanya dalam mengatur dan berpartisipasi secara internasional terkait konservasi sumberdaya ikan. Peringkat ketiga diduduki oleh domain sosial ekonomi dengan sumbangan terbesar variabel kebijakan usaha perikanan tangkap terpadu yang konsisten dan stabil diatur dalam peraturan usaha perikanan tangkap.
Benefit sosial ekonomi sangat ditentukan oleh variabel usaha perikanan tangkap terpadu. Kebijakan transhipment justru sangat berdampak pada benefit lingkungan/SDI. Sedangkan kebijakan konservasi sumber daya ikan lebih dekat dengan tata kelola kelembagaan.
Benefit sosial ekonomi yang diharapkan dapat didukung oleh variabel kebiakan persyaratan SIUP/SIPI/SIKPI dan kebijakan alokasi daerah penangkapan ikan dan pelabuhan pangkalan, justru kebalikannya variabel tersebut lebih dekat ke domain lingkungan.
Kedekatan gerombol data domain teknik penangkapan ikan dengan domain sosial ekonomi dapat dimaknai memiliki karakteristik yang mirip, hal ini dapat dipertimbangkan bahwa variabel kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan dan pengadaan kapal perikanan dapat memberikan sumbangan terhadap benefit sosial ekonomi. Kebijakan domain teknik penangkapan ikan dimungkinkan berhubungan dengan domain sosial ekonomi. Namun demikian, pengembangan teknik penangkapan tidak hanya mempertimbangkan aspek efisiensi ekonomi tapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya ikan sependapat dengan Web A.R. (2011).
Ketimpangan antara domain sosial ekonomi dengan domain lingkungan menjadi kurang baik karena pemanfaatan sumber daya ikan menjadi tidak optimal. Domain sosial ekonomi sangat penting untuk diperhatikan karena pelanggan kebijakan usaha penangkapan ikan mayoritas pelaku usaha penangkapan ikan atau nelayan. Menurut Dean dan Bowen (1994), Tiga prinsip TQM adalah fokus pelanggan; perbaikan terus-menerus; dan kerja sama tim. Hak pemanfaatan sumber daya ikan diharapkan untuk dinikamati oleh banyak nelayan dan sedapat mungkin menghindari investasi asing. Harapan besar terhadap investor asing untuk memberikan benefit yang besar, justru malah berdampak negatif. Pemodal besar sangat berdampak negatif terhadap kerusakan lingkungan sumber daya ikan dibandingkan dengan benefit yang diperoleh negara. Investasi asing yang masih menggunakan tenaga kerja asing dan membawa hasil tangkapan ikan ke negaranya sangat merugikan negara yang hanya memperoleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Berikut tabel rekapitulasi penilaian mutu kebijakan usaha penangkapan ikan.
Tabel 4 Rekapitulasi penilaian mutu kebijakan

VARIABEL KEBIJAKAN
SOSEK
GOV
TP
ENVIRO SDI

Jenis Izin
53
60
-
-
57
Kewenangan Penerbitan
60
80
-
-
70
Persyaratan SIUP/SIPI/SIKPI
40
57
70
67
58
Prosedur dan waktu proses
53
60
-
63
59
Pemeriksaan dan Pengadaan Kapal
53
60
77
63
63
Tindakan Konservasi SDI
70
80
77
77
76
Daerah Penangkapan dan Pelabuhan Pangkalan
43
60
70
70
61
Tenaga Kerja Asing
76
70
60
-
69
Transhipment
60
80
80
80
75
Usaha Perikanan Terpadu
80
80
80
80
80

59
69
72
71




≤ 20
buruk
> 20 sd 40
Kurang baik
> 40 sd 60
sedang
> 60 sd 80
baik
> 80 sd 100
Baik sekali

Dari 10 variabel kebijakan usaha penangkapan ikan terdapat 3 variabel yaitu jenis izin, persyaratan SIUP/SIPI/SIKPI, prosedur, dan waktu proses perizinan berkategori sedang dan masih perlu diperbaiki kualitasnya. Selain itu nilai reliabilitas yang rendah menunjukkan kebijakan ini belum stabil dan belum handal untuk diterapkan terutama berdampak pada domain sosial ekonomi.
Kontradiksi antara domain sosial ekonomi dan domain lingkungan sumberdaya ikan perlu dijelaskan kepada publik secara jujur. Kebijakan usaha perikanan tangkap saat ini yang cenderung fokus pada benefit lingkungan dan sumber daya ikan belum tentu dirasakan manfaatnya saat ini, sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu menjelaskan tujuan jangka panjang dan menyiapkan strategi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan berbasis partisipasi masyarakat. Hal ini akan sedikit menutup ketimpangan tersebut.
Partisipasi aktif pelaku usaha dan nelayan lebih tepat untuk mencapai benefit sosial ekonomi dan lingkungan. Sumberdaya ikan dan lingkungannya memiliki daya dukung terbatas yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan. Kementerian Kelautan dan Perikanan harus mampu memfasilitasi pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan. Kebijakan usaha perikanan tangkap pro nelayan akan memberikan hak pemanfaatan yang lebih besar pada nelayan. Jika nelayan tidak diberdayakan untuk memanfaatkan surplus sumberdaya ikan maka sumberdaya ikan tidak termanfaatkan. Untuk mengatasi hal tersebut mutu kebijakan perlu diarahkan pada domain sosial ekonomi dan lingungan secara seimbang. Kemudahan yang diberikan pada proses perizinan bukan berarti mengabaikan domain lingkungan SDI. Harapan untuk kabinet kerja pemanfaatan SDI lebih pro rakyat sehingga kesejahteraan, kedaulatan, dan keberlanjutan tercapai. Apabila kebijakan masih pro kapitalis asing maka negara akan menjadi penonton perusahaan yang mengeksploitasi SDI. Para penggiat lingkungan mencoba untuk membatasi kapitalis.
Gerakan lingkungan menolak pertumbuhan kapitalisme dengan alasan bahwa lingkungan memiliki keterbatasan dalam kemampuannya untuk menyerap panas dari matahari, dan polutan di udara, tanah, dan air dari produk buatan manusia. Keterbatasan pertama adalah "pasokan terbatas sumber daya, "seperti luas lahan yang dapat dikembangkan untuk properti pertanian atau swasta kebutuhan, air bersih, bahan bakar non-terbarukan, dan bahan baku. Keterbatasan kedua adalah"Kapasitas sistem ekologi yang tak tergantikan untuk menyerap polutan, seperti radioaktif oleh-produk, karbon dioksida, atau limbah panas" (Habermas, 1975, hlm. 41-42).

3 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saat ini menurut data statistik perikanan tangkap 2013, dapat dianalisis bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sudah lebih dari 80%. Permasalahan usaha perikanan tangkap ke depan yaitu pertumbuhan demografi yang tidak seimbang dengan ketersediaan sumberdaya ikan sebagai sumber pangan dan matapencaharian masyarakat pesisir. Gap tersebut dikhawatirkan akan menguras dan merusak lingkungan sumberdaya ikan. Oleh karena itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya ikan dan lingkungannya perlu dikembangkan matapencaharian alternatif seperti mengembangkan budidaya perikanan dan pengolahan hasil perikanan.
Kebijakan usaha perikanan tangkap sudah dikelola secara baik dengan melibatkan para pemangku kepentingan dalam tahap penyusunannya. Partisipasi Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di tingkat global juga baik sehingga banyak dihasilkan kebijakan yang pro lingkungan sumber daya ikan termasuk kebijakan usaha perikanan tangkap yang mengatur klausul tindakan konservasi.
Fokus Kementerian Kelautan dan Perikanan pada domain lingkungan dan sumberdaya ikan telah berhasil. Pelarangan transhipment dan moratorium izin penangkapan ikan bagi kapal perikanan asal pengadaan luar negeri hingga Oktober 2015 sangat berdampak pada lingkungan. Kurun waktu tersebut diharapkan dapat memulihkan kondisi sumberdaya ikan di wilayah penangkapan ikan Laut China Selatan, laut Arafura, dan Laut Sulawesi. Kebijakan tersebut akan mengakibatkan surplus sumberdaya ikan sekitar 1,5 juta ton per tahun.
Pelanggan dari kebijakan usaha perikanan tangkap mayoritas nelayan perseorangan dan pelaku usaha bidang perikanan tangkap. Mutu kebijakan usaha akan ditentukan oleh pemenuhan harapan dan kepuasan nelayan atau pelaku usaha. Nelayan dan pelaku usaha menginginkan usaha yang kondusif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan usaha perikanan tangkap masih belum bermutu dengan kualitas sedang terutama domain sosial ekonomi.
Domain sosial ekonomi kurang menjadi perhatian ditambah dengan sering terjadinya perubahan kebijakan pada setiap variabelnya (nilai reliabilitas sosial ekonomi rendah). Perlu kebijakan untuk mempermudah perizinan, waktu proses yang singkat, dan persyaratan yang tidak rumit.
Pelimpahan kewenangan penerbitan izin dari kabupaten ke Provinsi yang berpotensi akan menyulitkan perizinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah daerah perlu menyiapkan sistem perizinan terintegrasi dan solusi teknisnya, akan tetapi kebijakan pelimpahan ini memiliki kelebihan dalam hal pendataan kapal perikanan dan integrasi data kapal perikanan pusat dan daerah.
Di sisi lain, pendekatan domain sosial ekonomi diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berwawasan lingkungan. Pengembangan teknik penangkapan ikan dapat diselaraskan dengan domain sosial ekonomi, misalnya melalui kemudahan pemeriksaan fisik kapal perikanan dan pengadaan kapal perikanan serta riset perikanan dengan mempertimbangkan pengetahuan lokal. Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan melalui kegiatan penyuluhan perikanan. Kegiatan penyuluhan perikanan secara terencana mengubah pengetahuan, keterampilan, dan sikap nelayan atau pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya ikan.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai berikut:
(1)   Melakukan intervensi positif terhadap domain sosial ekonomi dengan berbasis pada partisipasi pelaku usaha dan nelayan melalui kemudahan perizinan usaha penangkapan ikan seperti persyaratan, prosedur, waktu proses, alokasi daerah penangkapan dan pelabuhan pangkalan serta kemudahan pemeriksaan fisik kapal perikanan dan pengadaan kapal perikanan.
(2)   Mengembangkan program penyuluhan perikanan dengan mengedepankan pengetahuan lokal, riset formal, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya ikan yang sejahtera, berdaulat, dan sustainable.



DAFTAR PUSTAKA


Bicheno, J. (2002). The Quality 75: Towards Six Sigma Performance in Service and Manu facturing. PICSIE Book.
Dale, Barrie G. (2003). Managing quality. - 4th Ed. Oxford: Blackwell Publishers.  
Dean, J.W. and Bowen, D.E. (1994), "Management theory and total quality: improving research and practice through theory development", Academy of Management Review, Vol. 19 No. 3, pp. 392-418.
Habermas, J. (1975). Legitimation Crisis . Boston: Beacon Press.
Juran, J.M. and A. B. Godfrey, (1998).  Juran’s quality handbook.  5th Ed. New York: McGraw-Hill.
Kansil CST., Boboy M., Kansil C., 2003. Kemahiran Membuat Perundang-undangan. Perca.
Pita, C., Pierce, G.J. and Theodossiou, I. (2010), “Stakeholders’ participation in the fisheries management decision-making process: fishers’ perceptions of participation”, Marine Policy, Vol. 34 No. 5, pp. 1093-102.
Ross and Perry. (1999).  Quality management text cases and readings London : St. Lucie Press.
Web, A.R. (2011). Understudied Species in Coastal U.S. Waters:  Issues, Solutions, and Implications for Ecosystem-Based Fishery Management (Thesis). Stony Brook University.
Wilson, D.C. (2003), “The community development tradition and fisheries co-management”, in Wilson, D., Nielsen, J.R. and Degnbol, P. (Eds),The Fisheries Co-Management Experience: Accomplishments Challenges and Prospects, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, pp. 17-30.
Winarno B., 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Media Pressindo.
Zairi, M. and Thiagarajan, T. (1997), "A review of total quality management in practice: understanding the fundamentals through examples of best practice applications - Part III", The TQM Magazine, Vol. 9 No. 6, pp. 414-7.

Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

Cara Menilai atau Evaluasi Hasil Study Tour atau Studi Banding

TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)