TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)

A.    PERSPEKTIF BELAJAR SOSIAL

Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional, adalah Albert Bandura seorang Psikolog dari Stanford University, yang pertama kali mengemukakan teori belajar sosial dan mengembangkannya. Melalui penelitin-penelitiannya Bandura memperkuat teori belajar sosial diantaranya, penelitian tentang identifikasi dan imitasi, penguatan sosial, serta perubahan tingkah laku melalui pemodelan.
Belajar observasional pertama kali diteliti oleh Edward L. Thorndike (1898), lewat percobaan pada seekor kucing yang diletakkan dalam kotak teka-teki, dan kucing lainnya di sangkar yang ada didekatnya. Kucing di kotak teka teki itu sudah belajar cara keluar dari kotak, sehingga kucing kedua hanya perlu mengamati kucing pertama untuk belajar membebaskan diri. Namun, ketika Thorndike meletakkan kucing kedua itu di kotak teka teki, kucing itu tidak memberikan respons membebaskan diri. Thorndike melakukan uji coba yang sama dengan subjek ayam, anjing dan monyet, dengan hasil yang sama, bahwa hewan-hewan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk belajar melakukan sesuatu setelah melihat hewan lain melakukan sesuatu.
Demikian halnya dengan uji coba yang dilakukan Watson (1908), hasil risetnya terhadap monyet tidak menemukan bukti adanya belajar observasional. Thorndike dan Watson menyimpulkan bahwa belajar hanya berasal dari direct experienence (pengalaman langsung), dan bukan dari vicarious experience (pengalaman tak langsung atau pengganti), dengan kata lain mereka menganggap bahwa belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengn lingkungan dan bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang lain. Berbeda dari Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard (1941) tidak menyangkal fakta bahwa organisme bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain.  Miller dan Dollard mengemukanan bahwa peniruan (imitation) merupakan hasil dari suatu proses belajar, peniruan terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya.
Teori belajar sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal balik (recyprocal) yang berkesinambungan (kontinu) antara faktor kognitif, tingkah laku, dan faktor lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik. (Bandura, 1977), menurut Bandura individu mempelajari informasi, yang diproses secara kognitif dan bertindak berdasar informasi yang di dapat. Asumsi dasar dalam teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lain. Proses belajar ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan.
Teori ini menerima sebagian besar prinsip belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental internal. Bandura menggunakan penjelasan penguatan eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain (lingkungan sosial). Bandura (1971) dalam Salkind (2004) berpandangan bahwa individu bukanlah pihak yang pasif yang lemah kendali atas dirinya sendiri yang tunduk pada lingkungan. Individu juga memiliki kemandirian (perantara aktif) dan hubungannya dengan lingkungan bersifat timbal balik (recyprocal). Individu juga berpegang pada wawasan atau pengetahuan mengenai apa yang akan menjadi konsekuensi dari perilakunya. Selain melalui proses pengajaran oleh orang lain (lingkungan eksternal), belajar juga berlangsung melalui pembelajaran tidak melalui pengalaman langsung (vicarious learning) tetapi melalui peniruan (imitation) dan pemodelan (modelling).
Selanjutnya Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun. Bandura juga menyatakan bahwa kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, sekalipun penguatan dilakukan secara tidak langsung (vicarious reinforcement). Termasuk, bagaimana perilaku kita dipengaruhi lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning? bagaimana cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi? dan bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement).  



B.    PROSES-PROSES YANG MEMPENGARUHI BELAJAR OBSERVASIONAL

Belajar observasional terjadi secara independen dari penguatan, namun bukan berarti variabel lainnya tidak mempengaruhi. Bandura (1986) menyebut empat proses yang mempengaruhi belajar observasional, sebagai berikut :
1.     Proses Atensional (attentional process)
Proses ini menyatakan bahwa sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari. Dalam proses ini kapasitas sensoris seseorang akan mempengaruhi proses memerhatikan, contoh : stimuli modeling yang digunakan pada orang tuna netra dan tuna rungu berbeda dengan yang digunakan untuk orang normal. Berbagai karakteristik model juga akan mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan, dalam hal ini model yang sama dengan pengamatnya akan lebih sering diperhatikan (jenis kelamin, usia). Individu harus mampu menghadapkan diri atau memberi perhatian pada kejadian atau unsur-unsurnya, karena jika tidak bisa memberi perhatian pada suatu model maka tidak mungkin terjadi peniruan.

2.     Proses Retensional (retentional process)
Pada proses ini informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, yaitu secara imajinal dan secara verbal, secara imajinal adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, sedangkan secara verbal adalah lewat kata-kata yang dideskripsikan konseptual. Setelah informasi disimpan secara kognitif , dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Bandura menyatakan bahwa peningkatan kapasitas simbolisasi inilah yang memampukan manusia untuk mempelajari banyak perilaku melalui observasi. Pada tahap ini individu harus mampu menyimpan ciri-ciri terpenting dari suatu kejadian sehingga bisa dipanggil kembali dan digunakan ketika diperlukan, yang termasuk pengingatan (retention) adalah penyusunan kode-kode simbolik dan latihan beruang-ulang.

3.     Proses Pembentukan Perilaku (behavioral production process)
Proses ini menentukan sejauhmana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan kedalam tindakan atau performa, dalam proses ini ada satu periode rehearsal (latihan pengulangan) kognitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model, dimana selama proses latihan individu mengamati perilaku mereka sendiri dan membandingkan dengan representasi kognitif dari pengalaman si model.
Proses ini dilakukan terus menerus, sampai ada kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dengan model, sehingga menciptakan ‘umpan balik” yang dapat dipakai secara gradual untuk menyamakan perilaku seseorang dengan perilaku model, dengan menggunakan observasi diri dan koreksi diri.

4.     Proses Motivasional
Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi informasional yaitu suatu fungsi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat.  Fungsi lainnya adalah motivational process (proses motivasional) yaitu menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang yang telah dipelajari, seorang pengamat dapat belajar cukup dengan mengamati konsekuensi dari perilaku orang lain, menyimpan informasi itu secara simbolik, dan menggunakannya jika perilaku itu bisa bermanfaat baginya.

C.    DETERMINISME RESIPROKAL (INTERAKSI TIMBAL BALIK)

Konsep utama dan pembeda antara teori Bandura dengan teori belajar lainnya adalah adanya interaksi timbal balik (reciprocal determinism), yaitu pendekatan yang menjelaskan perilaku manusia dalam bentuk hubungan timbal-balik yang kompleks dan kontinu antara determinan kognitif, tingkah laku dan lingkungan. Skema belajar dibawah ini menggambarkan hubungan Tingkah laku (T), Pribadi (P) dan Lingkungan (L). 
Berikut ini adalah skema belajar dari para ahli :
Classical Conditioning Ivan Pavlov dan Trial and Error Learning Thordike: Lingkungan (faktor eksternal) menjadi satu variabel tunggal penentu tingkah laku
Operant Conditioning Skinner dan The Conditioning of Learning Karen Medsker. Faktor internal (pribadi aktif) bersama lingkungan eksternal mempengaruhi tingkah laku
Lewin, Bruner dan Ausubel: Pribadi dan Lingkungan adalah dua variabel independen yang mempengaruhi tingkahlaku
Social Learning Theory Alber Bandura: lingkungan (faktor eksternal) dan pribadi (faktor internal) secara bersama dan timbal balik mempengaruhi tingkah laku
  
Ditegaskan oleh Bandura bahwa dalam reciprocal determinism terdapat dua hal yang penting yaitu efikasi diri (self effication), nilai diri (self value) atau pengaturan diri (self regulation). Efikasi diri (self efficacy) didefinisikan oleh Bandura sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk mengorganisir dan menggerakkan sumber-sumber tindakan yang dibutuhkan untuk mengelola situasi-situasi yang akan datang (tujuan). 
Terdapat dua komponen dalam efikasi diri yaitu: 1) outcome expectations, yakni perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu; dan 2) efficacy expectations, yakni persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.  Efikasi diri berhubungan  dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.  Efikasi diri dapat diterapkan secara individu (seperti mampu berhenti merokok, mampu belajar bahasa inggris) maupun berkelompok (seperti mampu menjadi tim olah raga terbaik).
Efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber yakni : 1) pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment); 2) pengalaman vikarius (vicarious experience); 3) persuasi verbal (sociall persuation); dan 4) pembangkitan emosi (emotional states) (Tabel 1). Penilaian dan pengaturan diri (self regulation atau self value) adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri termasuk didalamnya adalah mengatur, memonitor, dan mengontrol tujuan yang ingin dicapai. Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsef atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku (Tabel 2).
Tabel 1.  Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi
Sumber
Cara Induksi
Pengalaman menguasai sesuatu prestasi
Meniru model yang berprestasi
Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih
Pengalaman Vikarius
Mengamati model yang nyata
Mengamati model film, komik, cerita
Persuasi Verbal
Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan
Nasihat, peringatan yang mendesak/memaksa
Pembangkitan Emosi
Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik
Memunculkan emosi dengan simbolik


Tabel 2.  Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai Prediktor Tingkah Laku
Nilai Efikasi
Kondisi Lingkungan
Prediksi
Hasil Tingkah Laku
Tinggi
Responsif
Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya
Rendah
Tidak Responsif
Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit
Tinggi
Tidak Responsif
Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif, melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan
Rendah
Responsif
Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu



D.    FUNGSI PENGUATAN DALAM PROSES PENIRUAN

Ada tiga hal yang berfungsi sebagai motivator yaitu penguatan langsung (direct reinforcement), penguatan tidak langsung (vicarios reinforcement), dan penguatan sendiri (self reinforcement).  Direct reinforcement, yaitu suatu tipe konsekuensi peristiwa yang dapat menguatkan tingkah laku baik menyenangkan atau tidak menyenangkan.           Misal, dengan memberikan hadiah kepada seorang anak yang mendapatkan nilai baik. Dalam peniruan, Bandura mencontohkan, seorang anak melihat anak lainnya sedang dihukum karena menyebrang tanpa menengok kiri kanan, maka itu membuat anak yang melihat kejadian tidak melakukan hal serupa.
Vicarious reinforcement, yaitu konsekuensi yang terkait dengan tingkah laku  orang lain yang diamati.  Misal, suatu model di beri hadiah agar terwujud dalam tingkah laku seseorang. Anak yang melihat temannya berkelahi, karena perbuatan berkelahi itu dipuji oleh teman-taman sekelasnya akan menjadi reinforcement yang mengarah dilakukannya perbuatan berkelahi di waktu-waktu yang lain.  Vicarious reinforcement, juga berfungsi membangkitkan respons-respons yang bersifat emosional yang nantinya akan membangkitkan rasa puas, bangga, dan sebagainya.  Self-reinforcement, yaitu konsekuensi yang berhubungan dengan standar tingkah laku pribadi.  Pada umumnya orang membuat standar tingkah laku bagi dirinya sendiri dan cenderung merespons terhadap tingkah lakunya sendiri dengan cara-cara yang menyenangkan kalau tingkah lakunya sesuai atau melampaui standar tersebut. Sebaliknya, dia akan merespon dengan car mengkritik diri sendiri kalau tingkah lakunya tidak sesuai dengan standar.
Kekuatan dan efek suatu penguat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) bagaimana kejadian penguat menyertai perilaku individu secara langsung; 2) jadwal penguatan atau frekuensi berlangsungnya kejadian-kejadian penguat; 3)  kualitas informatif, maksudnya tindakan dan proses penguatan dapat memberitahu tentang perilaku mana yang paling adaptif. Contoh, sebelum seseorang berangkat ke tempat wawancara kerja, ia menyadari kemungkinan untuk berhasil, karena kesadarannya, maka ia akan menjalankan perilaku tertentu (berpakaian yang pantas, berdasi dan sebagainya) untuk memaksimalkan peluang. Tindakan serupa (sesuai konteksnya) juga akan dilakukan oleh seorang guru, siswa, pelatih, penyuluh, petani dan sebagainya. 
Dengan demikian ”pengetahuan atau kesadaran pembelajar akan konsekuensi perilaku tertentu bisa membantu mengoptimalkan efektivitas suatu program pembelajaran; jika pembelajar diberi tahu mengenai perilaku apa yang akan mendapat ganjaran (dalam kondisi tertentu), maka semangat belajarnya pun akan meningkat pesat”; dan 4) kualitas motivasi pada penguat, maksudnya bahwa dalam teori belajar sosial, penguat dipahami sebagai hal yang memiliki kualitas mitivasi. Orang tidak dapat memprediksi masa depan, tetapi ia dapat menganitisipasi konsekuensi apa yang akan muncul berdasarkan pengalaman (baik atau buruk) yang telah dialami orang lain (tanpa mengalaminya secara langsung). Misal, imunisasi pada anak, tidak menanami lahan di akhir musim hujan, menanam cabai menjelang lebaran (positif) dan sebagainya.


E.    PENDEKATAN

Terkait dengan proses belajar sosial, Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni : Pertama, latihan penguasaan (desensitisasi modeling), yakni mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut). Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam fikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut  modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.
Kedua, modeling terbuka (modeling partisipan), yakni klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkahlaku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan (contohnya belajar main basket). Ketiga, modeling simbolik, yakni klien melihat model dalam film, gambar atau cerita. Kepuasan mendorong klien untuk mencoba atau meniru tingkahlaku modelnya. Aplikasi lainnya adalah dalam pendidikan formal, dimana dalam kerja kelompok, siswa-siswa yang berprestasi baik hendaknya dipasangkan dengan siswa yang prestasinya kurang. Maka dalam proses kerja keloimpok antara siswa tersebut akan terjadi saling tanya jawab dan diskusi.  Siswa yang prestasinya kurang akan meniru cara belajar dan diskusi teman-teman yang berprestasi baik sehingga prestasinya meningkat.
Terkait dengan proses belajar sosial, Bandura mengidentifikasi adanya efek lain pada perilaku. Selain bisa mempelajari hal-hal baru atau melakukan pembelajaran observasional, pemodelan juga dapat memicu (membangkitkan) perilaku yang sudah ada dalam bawaan kita yang sebelumnya tidak kita perlukan. Pengamatan (observational) terhadap model bisa mendatangkan tiga efek yang berbeda terhadap perilaku sekarang maupun yang akan datang: 1) efek pemodelan (modeling effect), yakni pembelajar berperilaku dengan cara baru (melakukan hal-hal baru); 2) efek pendorong (disinhibitory effect), yakni peniruan memicu munculnya perilaku yang sebenarnya sudah ada dalam bawaannya tetapi belum terangsang atau terpanggil secara aktif; dan 3) efek penghambatan (inhibitory effect), yakni kasus khusus dari efek pendorong atau pemunculan. Pengamatan individu terhadap model bisa berfungsi mendorong atau menghambat peniruan perilaku oleh individu tersebut.


F.     PENDAPAT BANDURA TENTANG PENDIDIKAN

Teori Bandura mengandung banyak implikasi bagi pendidikan, Bandura percaya bahwa segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung juga bisa dipelajari secara tak langsung lewat observasi. Bandura juga percaya bahwa model akan amat efektif jika dilihat sebagai orang yang memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi, atau kekuasaan. Jadi, dalam kebanyakan kasus, guru dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Melalui perencanaan yang cermat terhadap materi yang disajikan, guru dapat lebih dari sekedar menyampaikan informasi rutin. Guru dapat menjadi model untuk suatu keahlian, strategi pemecahan masalah, kode moral, standar performa, aturan dan prinsip umum, dan kreatifitas.
Guru dapat menjadi model tindakan, yang akan diinternalisasikan siswa dan karenanya menjadi standar evaluasi diri. Misalnya, standar yang telah diinternalisasi ini akan menjadi basis untuk kritik diri atau penghargaan diri. Ketika siswa bertindak sesuai dengan standar mereka, pangalaman itu akan diperkuat. Ketika tindakannya tidak memenuhi standar, pengalaman itu akan dihukum jadi, menurut Bandura, sebagaimana menurut teoretisi Gestalt dan Tolman, penguatan intrinsik lebih penting ketimbang penguatan ekstrinsik. Menurut Bandura, penguatan ekstrinsik justru bisa menjadi mereduksi motivasi belajar siswa. Pencapaian tujuan personal juga bisa menguatkan, dan karenanya guru sebaiknya membantu siswa merumuskan tujuan yang tidak terlalu sulit atau tidak terlalu mudah untuk dicapainya. Formulasi ini, tentu saja perlu dirumuskan secara individual untuk masing-masing siswa.

G.    KELEBIHAN DAN KELEMAHAN

Teori belajar sosial Bandura berlaku pada bidang ilmu yang bersifat inter dan multi disipliner, dapat dibuktikan oleh metode penelitian yang kuat, dapat diaplikasikan dalam memperbaiki kehidupan sosial yang lebih baik, dan memadukan antara kesempatan (lingkungan) dan kesiapan diri seseorang. Teori belajar sosial juga dapat digunakan dalam bidang-bidang terapan, seperti penyuluhan pertanian, pekerjaan sosial, pemberdayaan masyarakat, penanganan penyakit sosial, pengembangan kewirausahaan, arsitektur pemukiman dan sebagainya.
Namun demikian, teori belajar sosial juga dipandang terlalu menitikberatkan pada kebebasan dan rasionalitas manusia (individu), dan terlalu kompleks. Lundin dalam Matt Jarvis (2006) menyatakan bahwa teori belajar sosial Bandura dikritik oleh para ahli teori perilaku radikal karena memasukan proses-proses mental yang tidak dikenal dalam teori perilaku radikal. Selain itu, teori Bandura juga dianggap terlalu dangkal untuk menjelaskan secara rinci bagaimana kita dipengaruhi lingkungan dan membuat pilihan.
Teori Bandura juga abai terhadap beberapa aspek perkembangan dan pembelajaran manusia yang dianggap penting (seperti peranan emosi).

H.    KESIMPULAN

Menurut Bandura, informasi penguatan atau hukuman sama informatifnya dengan penguatan dan hukuman langsung, pembelajar memperoleh informasi lewat pengamatan  terhadap konsekuensi perilakunya sendiri atau perilku orang lain. Informasi yang diperoleh lewat observasi ini dapat digunakan dalam berbagai situasi jika ia membutuhkannya. Dari informasi terdahulu tersebut seorang individu akan memperkirakan bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu, dalam situasi tertentu, maka akan muncul konsekuensi tertentu. Dengan cara ini perkiraan konsekuensi itu akan setidaknya sebagain, menentukan perilaku dalam situasi tertentu.
Teori Bandura menekankan bahwa belajar observasional melibatkan atensi (perhatian), retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan behavioral, dan insentif (penghargaan). Maka jika belajar observasional tidak terjadi itu kemungkinan karena pengamat tidak mengamati aktivitas model yang relevan, tidak mengingatnya, tidak bisa melakukannya. Unsur paling penting dalam teori belajar sosial adalah konsep pembelajaran tidak langsung (vicarious learning) melalui peniruan (imitation) dan pemodelan (modeling)  yang menurut Bandura keduanya berlangsung sepanjang umur manusia. Sedangkan konsep paling penting yang dikemukakan Bandura dalam teori belajar sosialnya adalah proses timbal balik (reciprocal determinism), yaitu penjelasan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, tingkah laku dan lingkungan.  Bandura menegaskan bahwa timbal balik dalam belajar sosial itu tidak sederhana, tetapi kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

Albert Bandura. 1977. Social Learning Theory. Prentice-Hall, Inc. Engliwood Cliffs, New  Jersey.

Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

Cara Menilai atau Evaluasi Hasil Study Tour atau Studi Banding