Ego Sektoral Kelompok
Motivasi individu untuk bergabung dengan
organisasi atau kelompok tertentu semakin meningkat. Beragam motif yang
melatarbelakanginya baik politik, ekonomi, hobi, atau sebagai harapan atau
keyakinan. Sebagian orang meyakini bahwa kelompok yang diikutinya dapat
mewadahi kepentingannya. Bahkan ada yang memahami bahwa motivasi seseorang
mengikuti kelompok tertentu adalah sebagai bentuk protes sosial. Lahirnya
kelompok-kelompok dipahami sebagian pihak sebagai ketidakpuasan terhadap
kapitalisme sehingga wajar bekelompok-kelompok dikatakan sebagai warisan dari sosialis.
Pasca berakhirnya orde baru, dimana
kebebasan berdemokrasi justru menumbuhkan kelompok-kelompok yang sepak
terjangnya malah sebagian ada yang meresahkan masyarakat. Ironis memang, rakyat
kecil hanya berkaca-kaca menahan kesedihan dan terenyuh ketika turun dari
‘angkot’ melihat kerumunan orang berseragam dengan atribut kelompok tertentu. Bahkan,
lambang-lambang organisasi ada yang bergambar senjata tajam.
Apakah yang dimaksud cita-cita reformasi
mewujudkan civil society seperti ini?
Sekalipun Bapak reformasi pasti tidak mengharapkan munculnya tirani-tirani baru
dimana negara hanya bisa diam. Sementara di sudut-sudut sana rakyat merasa
tertekan. Hegemony kelompok-kelompok
bukan wujud dari pemberdayaan masyarakat.
Diamnya pemerintah mungkin masuk akal.
Apalagi ditengah situasi politik menjelang pilpres. Tekanan-tekanan publik
melalui jejaring komunikasi tidak secara otomatis melahirkan kebijakan untuk
melindungi rakyat dari kelompok tertentu. Tentunya, bagi rakyat yang tidak
tergabung dengan salahsatu kelompok merasa terganggu aktivitasnya. Sulit
memang, memisahkan isu politik dengan ketegasan pemimpin.
Entah kelompok-kelompok tertentu itu
sebagai underbow partai politik, mewakili
buruh, agama, daerah atau pun mengatasnamakan komunitas, tampaknya yang ada
dibenak hanya daerah kekuasaan atau juga uang. Berbagai kasus muncul seperti
pembakaran bendera tauhid, pemerasan terhadap pebisnis, serta pungutan liar. Demonstrasi
setiap hari di monas dan sekitarnya pada saat-saat jam kerja juga mengakibatkan
frustasi masyarakat karena macet total.
Media sosial menggambarkan besarnya
tekanan publik terhadap pemerintah karena ulah kelompok tertentu. Negara ini hadir
untuk melindungi rakyat. Apabila dibiarkan justru akan melahirkan
kelompok-kelompok lainnya. Motivasi warga negara untuk bergabung dengan
kelompok tertentu atau lahirnya kelompok baru yang niat awalnya untuk
melindungi diri justru sebaliknya akan membuka potensi perpecahan.
NKRI menjadi harga mati, itu yang
seharusnya menjadi acuan seluruh warga negara. Kebebasan berkelompok dan
berpendapat memang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, semua pihak
harus menyadari itu semua ada batas-batasnya. Tidak diharapkan, justru malah mengancam
hak-hak warga negara lainnya.
Anomali cara berpikir publik saat ini yang
menganggap masa orde baru dianggap’adem ayem’, rakyat merasa tenang dalam
berusaha. Pemerintah harus lebih aspiratif terhadap suara-suara publik terkini.
Era digital saat ini, cukup untuk memberikan sinyal-sinyal aspirasi rakyat.
Sungguh mudah bagi pemerintah untuk merespon keluhan dan masalah rakyat. Digitalisasi
informasi publik lebih memudahkan untuk respon cepat berbagai kebijakan.
Berkelompok-kelompok atau menyalurkan
aspirasi adalah hak warga negara. Namun tetap pemerintah harus berhati-hati,
serta membangun model jejaring sosial yang saling menguntungkan antara warga
negara sebagai individu, kelompok, dan lembaga negara. Bagaimanapun juga
kelompok-kelompok menjadi relawan negara yang memiliki tujuan mensejahterakan
rakyat. Jembatan antara kelompok-kelompok dengan negara harus segera terbangun.
Kelompok dapat dijadikan perpanjangan tangan pemerintah, agen perubahan, pendamping
masyarakat, dan mensosialisasikan peraturan pemerintah. Bahkan kelompok juga
bisa mempengaruhi kebijakan layanan publik.
Kehati-hatian dalam pemberian ijin pendirian
organisasi masyarakat. Pemerintah harus mengetahui manfaat dari organisasi
tersebut didirikan. Terlebih jangan sampai kelompok baru justru akan menggangu
sendi-sendi kehidupan bernegara. Munculnya konflik aliran agama tertentu yang ternyata
tidak sejalan dengan agama tersebut, tidak bisa diprediksi dari awal sejak usulan
pendiriannya. Bahkan, mungkin ada kelompok yang memiliki agenda berbahaya. Hal
seperti ini jangan sampai terulang, karena negara memiliki perangkat sebagai
sumber konsultasi sebelum memutuskan suatu organisasi kelompok boleh didirikan
di republik ini.
Pola jejaring sosial semestinya mulai
dipetakan dan dimonitor keberadaannya. Karakteristik masing-masing organisasi mulai
dikelompokkan berdasarkan tujuan dan bidangnya. Tidak hanya bidang, tokoh pun
semestinya menjadi simpul-simpul penghubung antar jejaring kelompok-kelompok.
Ketokohan memegang peran penting sebagai mediator antara kelompok internal
dengan kelompok eksternal. Era 4.0 saat ini, semestinya sudah didukung dengan
sistem informasi dan saluran komunikasi antar komunitas yang dapat memudahkan
pemantauan aktivitas kelompok.
Aktivitas yang dilaporkan setiap tahunnya
mestinya menjadi acuan untuk penilaian eksistensinya di masyarakat. Apakah
suatu kelompok dinilai baik atau tidak keberadaannya oleh warga setempat. Jika
kelompok tertentu mendapatkan tempat di hati rakyat maka sewajarnya pemerintah
memberikan apresiasi. Keseimbangan antara penerapan sangsi dengan penghargaan.
Meskipun, hal itu sangat sulit karena masih ada pihak-pihak yang mengaitkan
upaya tersebut sebagai bagian dari operasi politik. Akhirnya, hal terpenting
bagi negara adalah bagaimana agar kehadiran kelompok-kelompok atau komunitas
tertentu menjadi terarah dan terkendali. Monitor, berdayakan, dan jalin komunikasi
antar kelompok.
Comments
Post a Comment