KELEMBAGAAN TUNA INDONESIA?
Syarat
dan ketentuan suatu perikanan yang terkelola baik sudah jelas tersurat dalam
Undang-Undang Perikanan. Teknis pengelolaan perikanan sekurang-kurangnya
memenuhi unsur monitoring, controling, dan surveilance (MCS). Namun, hingga
saat ini data kapasitas penangkapan berdasarkan ukuran kapal (GT kapal) untuk
masing-masing wilayah peneglolaan perikanan (WPPNRI) dan secara rinci per
provinsi masih belum terpenuhi. Oleh karena itu, penerbitan dan bertambahnya surat
ijin penangkapan ikan (SIPI) di Indonesia tidak ada batasannya.
Pengelolaan
kapasitas penangkapan ikan adalah upaya untuk menyeimbangkan input dan output
perikanan untuk mencegah overcapacity. Kenyataan
tersebut menggiring opini international bahwa Indonesia masih memberlakukan open access dalam pemanfaatan sumber
daya ikan termasuk perikanan tuna. Meskipun perikanan tuna telah dikelola
secara baik oleh RFMO namun pemberian ijin menangkap ikan baik di tingkat pusat
maupun daerah tidak dibatasi atau disesuaikan dengan kuota perikanan tuna yang
telah diberikan kepada Indonesia.
Source figure:www.semuaikan.com
Perikanan
tuna di Indonesia juga dioperasikan oleh nelayan-nelayan handline dan pole and line dengan ukuran kapal < 10 GT. Dalam operasinya
mereka membutuhkan umpan hidup dan rumpon. Hasil tangkapan mereka dalam waktu 2
– 3 hari laut dapat mencapai 1 – 3 ton ikan cakalang dan madidihang. Tuna hasil
tangkapan langsung dijual ke perusahaan pengumpul yang kapal pengumpulnya sudah
menunggu di tepi pantai. Biasanya mereka terikat dengan kerjasama kemitraan. Namun
kenyataannya, masih ada nelayan yang mengeluhkan tentang harga dan kualitas
tuna. Pemerintah melalui kelembagaan tuna sebaiknya memiliki pengaruh dalam
penentuan harga dan kualitas tuna untuk perikanan skala kecil termasuk perannya
di dunia international tentang ketimpangan harga tuna ini.
Rendahnya
kapasitas sumber daya manusia dalam perikanan tuna juga masih belum bisa
ditingkatkan. Banyak kapal perikanan purseseine di pantura Jawa yang nakhodanya
berpendidikan sekolah dasar. Mereka tidak memahami cara mitigasi mamalia laut
yang tertangkap tidak sengaja. Oleh sebab itu, mereka merasa ketakutan oleh
aparat penegak hukum dengan cara melepas ikan tersebut dalam keadaan hidup atau
mati dan tidak terlaporkan.
Selain
itu, banyak kapal perikanan tuna yang menggunakan branch line kurang dari 60 meter baik pada bulan terang maupun
bulan gelap. Akibatnya target tuna hanya di permukaan saja, seperti madidihang
dan cakalang. Sementara big eye dan bluefin sulit untuk tertangkap. Selain
itu, banyak kapal-kapal longline yang
merasa sulit untuk menangkap tuna karena persaingan yang berat dengan jaring
berhenti melaut. Sebagian dari mereka mengubah kapal longline dengan alat penangkapan pancing cumi.
Upaya
untuk menghidupkan kelembagaan tuna sangat tepat, tentunya dengan memahami
sejumlah permasalahan tuna saat ini. Kelembagaan tuna ditingkat pusat atau
komisi tuna sebaiknya fokus pada capacity
building terutama untuk para pengelola yang telah ditunjuk di lembaga
pengelola tuna baik di area pengelolaan 57, 71, dan archipelagic waters. Lembaga pengelola tuna sebaiknya sudah fokus
pada tugas-tugas monitoring data pemanfaatan, menyiapkan langkah-langkah
pengendalian yang telah disepakati serta pengawasannya.
Legitimasi
kelembagaan tuna oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sangat mendesak mengingat
pentingnya peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan tuna melalui
intervensi lembaga tuna dalam kemitraan, harga, dan tingkat kualitas tuna. Disamping
itu, pendataan dan penentuan alokasi ijin penangkapan ikan di masing-masing
WPPNRI dan provinsi serta pencegahan kegiatan IUU fishing menjadi sangat
penting.
Comments
Post a Comment