BUDAYA BELAJAR MENUJU KEBERDAYAAN
Dunia mulai mencermati isu
mengenai kontribusi pertumbuhan ekonomi negara yang tidak linier dengan
perbaikan kualitas hidup manusia. Kondisi ini dipengaruhi oleh kekayaan negara
yang tidak terdistribusi secara merata. Indikasi tersebut dibuktikan dengan ketimpangan
pendapatan yang terus meningkat secara global. Akibatnya permasalahan
kemiskinan, konflik sosial, pengangguran, rawan pangan dan kerusakan lingkungan
terus menerus terjadi. Hal ini menjadi tantangan untuk negara-negara maju dan
negara-negara berkembang bahwa 50% penduduk dunia masih tergolong miskin dan
hanya mengontrol 10% kekayaan negaranya (Laporan Outlook 2015, WEF).
Kekayaan negara yang
dihitung dengan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh negara atau dikenal
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi fokus negara-negara di dunia
termasuk Indonesia. PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku pada tahun 2013
mencapai Rp. 8.419,13 Trilyun dan tahun 2014 menjadi Rp. 9.391,54 Trilyun (BPS,
Angka sementara). Pendapatan nasional per kapita tahun 2013 Rp. 32.463.736,- dan tahun 2014 diperkirakan menjadi Rp. 41,
81 Juta.
Akumulasi inflasi dari
tahun 2007 sampai 2013 sebesar kurang lebih 44% (Gambar 2), sementara kenaikan
pendapatan per kapita mencapai kurang lebih 100% (Gambar 1). Hal ini
membuktikan bahwa pendapatan real per kapita hanya bertambah sebesar 10% per
tahun. Kenaikan tersebut tidak mampu mendongkrak kekayaan masyarakat secara
umum karena kenaikan tersebut sebenarnya hanya mampu menutupi kebutuhan hidup
setiap hari.
Data tersebut
mengindikasikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia baik pekerja maupun
wirausaha berpendapatan rendah. Apabila dicermati kekayaan negara dan tenaga
kerja berdasarkan lapangan usaha maka kelompok masyarakat bidang pertanian,
kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan berpengaruh terbesar terhadap
masalah ketimpangan. Sektor ini banyak menyerap tenaga kerja, tetapi nilai PDB
yang dihasilkan relatif kecil dan tidak sebanding dengan jumlah manusia yang
terlibat di dalamnya.
Serapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan dan perikanan hampir 43 juta orang atau 44% dari total angkatan
kerja, tetapi nilai PDB yang dihasilkan sektor ini hanya Rp. 1.446,72 trilyun
atau 15,05% dari total PDB. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan stagnan bahkan cenderung menurun dalam
kurun waktu 10 tahun. Beralih kerja ke sektor lain menjadi penyebab utama.
Oleh sebab itu, sektor ini mengalami
kekurangan tenaga kerja. Akibatnya usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan terdistribusi dalam
skala kecil. Faktanya sektor ini sebagian besar dikelola oleh usaha rumah
tangga yang bertumpu pada sumber tenaga kerja dari rumah tangga seperti suami,
istri, anak dan famili.
Upaya untuk mengurangi
ketimpangan pendapatan dengan pendekatan rumah tangga pertanian, kehutanan,
perkebunan, peternakan dan perikanan oleh Pemerintah merupakan langkah yang
tepat. Selain itu, upaya tersebut sekaligus dapat meningkatkan kedaulatan dan
ketahanan pangan nasional serta berkontribusi pada kekayaan negara non migas.
Pertumbuhan PDB sektor ini secara umum meningkat tajam pada tahun 2006
sampai 2014 sehingga diindikasikan kenaikan nilai PDB tersebut dipengaruhi oleh
inflasi akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi. Sebaliknya sektor
perikanan menunjukkan keberhasilan dengan menggeser kinerja sektor perkebunan
atau urutan kedua setelah sektor tanaman pangan. Sektor perikanan berkontribusi
sebesar Rp. 340 trilyun pada tahun 2014.
Sektor perikanan menjadi
perhatian Pemerintah setelah dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam
kabinet Persatuan saat Presiden Abdurahman Wahid. Sektor ini dianggap memiliki
potensi besar yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Laut Indonesia dengan
panjang pantai kedua di dunia memiliki potensi budidaya dan perikanan laut.
Selain itu Indonesia juga berpotensi menjadi lumbung garam dan pusat wisata
bahari dunia.
Subsektor perikanan tangkap
khususnya perikanan laut menjadi tumpuan utama sektor perikanan, tetapi perikanan
laut memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan yang harus dikelola secara
baik agar terjaga kelestarian dan keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Produksi
perikanan laut cenderung stabil dalam kurun waktu 2009 sampai 2014.
Stagnasi produksi perikanan
laut Indonesia mengindikasikan bahwa upaya penangkapan ikan sudah optimal
sesuai kapasitasnya. Kejenuhan upaya penangkapan tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi seluruh perairan dunia. Data FAO menunjukkan bahwa produksi
perikanan laut dunia stagnan pada angka 79 juta sampai 80 juta ton per tahun.
Namun demikian produksi perikanan laut Indonesia diperkirakan akan meningkat
seiring dengan keberhasil memberantas penangkapan
ikan ilegal, tetapi tetap akan melambat dalam jangka panjang.
Perhatian Pemerintah
terhadap potensi laut semakin meningkat pada kabinet Kerja 2014 sampai 2019.
Komitmen Pemerintah yaitu menjadikan laut sebagai poros maritim dunia dan masa
depan bangsa. Sasaran utama masyarakat pesisir menjadi maju dan sejahtera.
Sejarah dan fakta menunjukkan bahwa peradaban dimulai dari pesisir, dan
mayoritas masyarakat Indonesia menetap di wilayah pesisir yang bergantung pada
laut sebagai matapencaharian.
Upaya untuk mengurangi
ketimpangan pendapatan sangat tepat jika berawal dari masyarakat pesisir. Matapencaharian
masyarakat pesisir terutama sektor perikanan yang dikelola skala rumah tangga
menjadi prioritas karena akan berdampak pada kemajuan ekonomi keluarga. Usaha
yang dilakukan dengan skala rumah tangga diantaranya nelayan, pembudidaya ikan
dan pengolah ikan. Sebaiknya jika Pemerintah memiliki keterbatasan anggaran
maka pengolah ikan dapat diprioritaskan untuk dibina karena pengolahan ikan
yang maju memberi manfaat ekonomi yang besar pada nelayan, pembudidaya ikan dan
pedagang.
Pendekatan rumah tangga
pengolah ikan sejalan dengan upaya ketahanan pangan yang dilakukan FAO. Dunia
tidak lagi fokus pada peningkatan produksi perikanan, tetapi fokus pada upaya mengurangi
susut hasil pasca panen pada proses penangkapan, pendaratan dan pengolahan
ikan. Menurut data FAO dalam National Workshop on Post-Harvest Fish Losses in Indonesia
di Jakarta hari Selasa tanggal 3 November 2015, disebutkan bahwa susut hasil
pasca panen sektor perikanan Indonesia mencapai 35%
per tahun. penyebab susut hasil ikan akibat dari perilaku manusia dalam melakukan aktivitas
perikanan yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, pendekatan rumah tangga
pengolah ikan diharapkan mampu meredam isu lingkungan, keamanan pangan dan
perubahan iklim karena pengolah ikan termasuk pembeli utama hasil perikanan
baik dari nelayan maupun pembudidaya ikan.
Pendapatan yang rendah dan stagnasi
pendapatan yang terjadi pada rumah tangga pengolah ikan yang berlangsung secara
terus menerus mengakibatkan ketimpangan yang semakin dalam. Fakta dilapangan
menunjukkan bahwa mayoritas usaha pengolahan ikan masih bersifat tradisional
dengan pendapatan kurang dari Rp. 2 Juta per bulan dan margin keuntungan sangat
kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Asmara 2007). Hasil
penelitian yang dilakukan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB disajikan tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1
Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Kabupaten Indramayu 2007
Rumah
Tangga Perikanan
|
Penerimaan (Rp/bulan)
|
Biaya (Rp/bulan)
|
Pendapatan (Rp/bulan)
|
Persentase (%)
|
Nelayan
|
2.771.140
|
1.515.200
|
1.255.940
|
45,32
|
Budidaya
|
3.333.333
|
2.333.333
|
1.000.000
|
30,00
|
Pengolah/Pemasar
|
26.875.000
|
25.318.750
|
1.556.250
|
5,79
|
Pendapatan yang rendah seperti tabel 1
di atas jelas sangat timpang apabila dibandingkan dengan rumah tangga yang
terlibat di sektor lain. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian
lembaga penelitian Universitas Padjajaran tahun 2003 bahwa kelayakan usaha
pengasinan ikan teri di desa Karangantu, Kota Serang-Banten yang menjelaskan
bahwa B/C rasio per bulan diperoleh sebesar 1,057 sehigga pendapatan tersebut
sangat rendah (Resmiati T et al. 2003). Pendapatan tersebut meskipun setara
dengan upah minimum, tetapi pendapatan pengolah ikan terdistribusi untuk
anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan produksi sehingga secara nyata
lebih kecil dari upah minimum.
Disamping itu, stagnasi
pendapatan pengolah ikan disebabkan oleh permasalahan diantaranya: (1)
ketersediaan bahan baku yang sulit diprediksi karena pengaruh cuaca dan musim
ikan sehingga jika bahan baku sulit diperoleh Pengolah ikan memilih untuk libur
produksi, (2) tenaga kerja yang sulit diperoleh karena ketidakmampuan membayar
upah memaksa anggota keluarga untuk terlibat (3) mutu produk yang tidak menarik
dan kurang merespon selera konsumen dan (4) akses pasar yang mengandalkan pembeli
yang datang dan konsumen dalam negeri. Angka konsumsi konsumen dalam negeri masih
rendah sementara produk mereka belum memenuhi mutu ekspor.
Stagnasi pendapatan yang
terjadi pada pengolah ikan mungkin terjadi juga pada sektor lainnya sehingga
menyebabkan ketimpangan pendapatan atau gini rasio yang semakin besar. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional berpendapat bahwa indeks gini rasio yang
meningkat lebih disebabkan oleh: (1) Ketimpangan
dalam usaha, kerja keras, atau talent dari individu, (2) Ketimpangan dalam kesempatan
dan (3) Kebijakan (Bappenas 2012 mengadopsi Roemer, 1998).
Solusi mengurangi
ketimpangan menjadi lebih mengarah pada peningkatan kesempatan seperti
usaha, kerjakeras dan
talenta dari individu agar semua
warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama dalam
meningkatkan kesejahteraannya melalui kesempatan pendidikan semua
jenjang, serta kualitas pelayanan kesehatan. Akibatnya pengeluaran negara untuk
pendidikan dan kesehatan sangat besar.
Paradigma pemberdayaan
masyarakat dengan bantuan pendidikan dan kesehatan belum tentu akan
meningkatkan kesejahteraan. Bahkan akan menimbulkan ketergantungan yang tinggi
pada Pemerintah. Artinya masyarakat secara umum belum mampu untuk mengakses
pendidikan dan kesehatan secara mandiri.
Peningkatan kesempatan
usaha, kerjakeras dan talenta individu tidak hanya melalui bantuan pendidikan
formal. Pendidikan formal lebih dinikmati generasi muda yang belum memasuki
dunia kerja. Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia yang berpengaruh terhadap
ketimpangan pendapatan yaitu masyarakat usia dewasa. Oleh karena itu, perubahan
perilaku pada masyarakat dewasa hanya bisa didekati melalui penyuluhan.
Namun demikian, partisipasi
masyarakat dalam penyuluhan belum menjadi indikator penting dalam pembangunan
mausia. Saat ini rata-rata pendidikan formal yang ditempuh masyarakat masih
menjadi penentu dalam pengukuran Indeks Pembanguna Manusia (IPM). Selain itu,
faktor lain yang menjadi penentu IPM yaitu GDP perkapita dan harapan hidup anak
pasca dilahirkan. Gambar dibawah ini menunjukkan IPM Provinsi Jawa Barat,
Banten dan Indonesia.
Gambar 8 IPM Provinsi Jawa Barat dan Banten (BPS diolah)
IPM Provinsi Jawa Barat
lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Banten rata-rata nilai kedua Provinsi
tersebut di atas angka 70. Nilai tersebut mendekati rata-rata nasional. Nilai
IPM kedua Provinsi tersebut terpaut hanya 1 sampai 3 poin, tetapi ini tidak
menunjukkan kemiripan kemajuan budaya belajar. Kedua daerah tersebut dapat
diteliti lebih lanjut mengenai kemajuan budaya belajar khususnya dalam
pengolaha ikan di Kabupaten Serang dan Kabupaten Cirebon.
Penguatan budaya belajar
melalui program penyuluhan diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan,
tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman belajar secara formal. Nilai IPM ternyata tidak
selamanya relevan dengan nilai NTP. Data menunjukkan bahwa nelayan dan
pembudidaya ika Provinsi Banten selama tahun 2015 belum mengalami defisit
pendapatan dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat. Dimungkinkan ada faktor
lain yang mempengaruhi nilai NTN yang dapat diteliti lebih lanjut diantaranya
peran penyuluhan, gender dalam keluarga, media massa, dan jaringan sosial.
Peran penyuluhan menjadi
sangat penting untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Peran penyuluh tidak
hanya mensejahterakan pelaku utama. Peran penyuluh tidak berakhir pada tujuan
ketahanan hidup dan keberlanjutan usaha. Kemandirian pelaku utama tidak hanya
dilihat dari keberlanjutan usaha. Konsep kemandirian dalam pemberdayaan harus
lebih tajam pada penciptaan rumah tangga yang berkemajuan agar ketimpangan
pendapatan berkurang. Rumah tangga yang berkemajuan hanya dapat dicapai oleh
masyarakat pembelajar. Tataran global masih menunjukkan bahwa pendekatan
ekonomi rumah tangga lebih pada penekanan untuk bertahan hidup (Save The
Children-FAO 2008).
Paradigma pemberdayaan rumah
tangga dari ketahanan dan keberlanjutan usaha harus diubah menjadi berkemajuan.
Paradigma ini dirasakan oleh rumah tangga pengolah ikan. Mereka harus dinamis
dalam kreasi produk yang bermutu dan berorientasi pasar sehingga dapat
meningkatkan nilai jual produk. Pengembangan produk yang inovatif hanya dapat
dilakukan oleh masyarakat yang kreatif. Daya kreasi akan terwujud apabila
pengolah ikan menjadi pembelajar yang baik. Masyarakat pengolah ikan yang
memiliki karakter pembelajar akan menciptakan budaya belajar. Penciptaan budaya belajar menjadi penting
dalam pengembangan produk bernilai tambah dan aman dikonsumsi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Penyuluhan adalah
proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan
mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kementerian Kelautan dan
Perikanan menindaklanjuti Undang-undang tersebut dengan menerbitkan Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38/PERMEN-KP/2013 tentang Kebijakan dan
Strategi Penyuluhan Perikanan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberdayakan
Pelaku Utama dan Pelaku Usaha dalam
peningkatan kemampuan
melalui penciptaan iklim usaha yang
kondusif, penumbuhan motivasi,
pengembangan potensi, pemberian
peluang, peningkatan kesadaran,
pendampingan, serta fasilitasi. upaya tersebut diharapkan dapat memberdayakan
masyarakat kelautan dan perikanan agar lebih sejahtera.
Penyuluhan diharapkan tidak
hanya menekankan pada proses pendampingan akan tetapi bagaimana menciptakan
budaya belajar dimasyarakat agar mereka mandiri dalam belajar tidak bergantung
pada penyuluh secara terus menerus. Kebijakan yang mengarah pada penciptaan
belajar yaitu kebijakan pendekatan kelompok. Kelompok menciptakan budaya
belajar melalui pertemuan dan diskusi anggota kelompok. Upaya tersebut
dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor:4/PERMEN-KP/2013 tentang Pedoman Pengembangan
Usaha Bidang Perikanan Berbasis Kelompok Masyarakat. Kebijakan tersebut
bertujuan bertujuan untuk
meningkatkan minat masyarakat
berusaha, menumbuh
kembangkan kelompok usaha
baru, serta meningkatkan produksi dan pendapatan di
bidang perikanan. Kelompok yang berhasil akan mempengaruhi kelompok lainnya.
Potensi penciptaan budaya
belajar tidak hanya pada peran penyuluh, tetapi dapat dilakukan juga melalui
peran gender, media massa dan jaringan sosial. Fakta lapangan menunjukkan bahwa
faktor-faktor seperti peran perempuan dalam usaha pengolahan ikan, media massa
dalam penjualan produk, dan kekuatan jaringan menjadi penting. Faktor-faktor
tersebut diharapkan dapat menciptakan budaya belajar pengolah ikan dan meningkatkan
keberdayaan pengolah ikan dalam menerapkan prinsip mutu, keamanan pangan, dan
lingkungan.
Comments
Post a Comment