BUDAYA BELAJAR MENUJU KEBERDAYAAN


Dunia mulai mencermati isu mengenai kontribusi pertumbuhan ekonomi negara yang tidak linier dengan perbaikan kualitas hidup manusia. Kondisi ini dipengaruhi oleh kekayaan negara yang tidak terdistribusi secara merata. Indikasi tersebut dibuktikan dengan ketimpangan pendapatan yang terus meningkat secara global. Akibatnya permasalahan kemiskinan, konflik sosial, pengangguran, rawan pangan dan kerusakan lingkungan terus menerus terjadi. Hal ini menjadi tantangan untuk negara-negara maju dan negara-negara berkembang bahwa 50% penduduk dunia masih tergolong miskin dan hanya mengontrol 10% kekayaan negaranya  (Laporan Outlook 2015, WEF).
Kekayaan negara yang dihitung dengan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh negara atau dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi fokus negara-negara di dunia termasuk Indonesia. PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku pada tahun 2013 mencapai Rp. 8.419,13 Trilyun dan tahun 2014 menjadi Rp. 9.391,54 Trilyun (BPS, Angka sementara). Pendapatan nasional per kapita tahun 2013 Rp. 32.463.736,-  dan tahun 2014 diperkirakan menjadi Rp. 41, 81 Juta.

Peningkatan pendapatan per kapita yang signifikan, tetapi kenaikan tersebut tidak akan mempengaruhi kualitas hidup rakyat apabila kenaikan pendapatan terjadi hanya untuk menutupi kenaikan inflasi. Akibatnya ketimpangan  pendapatan kaum kaya dan kaum miskin semakin dalam. Indeks gini rasio Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Kenaikan gini rasio dan inflasi membuktikan bahwa secara umum perekonomian rakyat Indonesia belum maju karena kegiatan perekonomian lebih berdampak pada kaum kaya. Gini rasio tahun 2013 sebesar 0,413 artinya jumlah kekayaan negara sebesar 41% hanya dikuasai oleh 1% orang Indonesia. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh dunia seperti di benua Asia 25%, Eropa 12%, Timur Tengah-Afrika 14% dan Amerika 18% (Laporan Outlook 2015, WEF).

Akumulasi inflasi dari tahun 2007 sampai 2013 sebesar kurang lebih 44% (Gambar 2), sementara kenaikan pendapatan per kapita mencapai kurang lebih 100% (Gambar 1). Hal ini membuktikan bahwa pendapatan real per kapita hanya bertambah sebesar 10% per tahun. Kenaikan tersebut tidak mampu mendongkrak kekayaan masyarakat secara umum karena kenaikan tersebut sebenarnya hanya mampu menutupi kebutuhan hidup setiap hari.

Data tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia baik pekerja maupun wirausaha berpendapatan rendah. Apabila dicermati kekayaan negara dan tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha maka kelompok masyarakat bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan berpengaruh terbesar terhadap masalah ketimpangan. Sektor ini banyak menyerap tenaga kerja, tetapi nilai PDB yang dihasilkan relatif kecil dan tidak sebanding dengan jumlah manusia yang terlibat di dalamnya.

Serapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan hampir 43 juta orang atau 44% dari total angkatan kerja, tetapi nilai PDB yang dihasilkan sektor ini hanya Rp. 1.446,72 trilyun atau 15,05% dari total PDB. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan stagnan bahkan cenderung menurun dalam kurun waktu 10 tahun. Beralih kerja ke sektor lain menjadi penyebab utama.

Oleh sebab itu, sektor ini mengalami kekurangan tenaga kerja. Akibatnya usaha pertanian, perkebunan,  kehutanan dan perikanan terdistribusi dalam skala kecil. Faktanya sektor ini sebagian besar dikelola oleh usaha rumah tangga yang bertumpu pada sumber tenaga kerja dari rumah tangga seperti suami, istri, anak dan famili.

Upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dengan pendekatan rumah tangga pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dan perikanan oleh Pemerintah merupakan langkah yang tepat. Selain itu, upaya tersebut sekaligus dapat meningkatkan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional serta berkontribusi pada kekayaan negara non migas. 

Pertumbuhan PDB sektor ini secara umum meningkat tajam pada tahun 2006 sampai 2014 sehingga diindikasikan kenaikan nilai PDB tersebut dipengaruhi oleh inflasi akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi. Sebaliknya sektor perikanan menunjukkan keberhasilan dengan menggeser kinerja sektor perkebunan atau urutan kedua setelah sektor tanaman pangan. Sektor perikanan berkontribusi sebesar Rp. 340 trilyun pada tahun 2014.
Sektor perikanan menjadi perhatian Pemerintah setelah dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam kabinet Persatuan saat Presiden Abdurahman Wahid. Sektor ini dianggap memiliki potensi besar yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Laut Indonesia dengan panjang pantai kedua di dunia memiliki potensi budidaya dan perikanan laut. Selain itu Indonesia juga berpotensi menjadi lumbung garam dan pusat wisata bahari dunia. 

Subsektor perikanan tangkap khususnya perikanan laut menjadi tumpuan utama sektor perikanan, tetapi perikanan laut memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan yang harus dikelola secara baik agar terjaga kelestarian dan keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Produksi perikanan laut cenderung stabil dalam kurun waktu  2009 sampai 2014.

Stagnasi produksi perikanan laut Indonesia mengindikasikan bahwa upaya penangkapan ikan sudah optimal sesuai kapasitasnya. Kejenuhan upaya penangkapan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi seluruh perairan dunia. Data FAO menunjukkan bahwa produksi perikanan laut dunia stagnan pada angka 79 juta sampai 80 juta ton per tahun. Namun demikian produksi perikanan laut Indonesia diperkirakan akan meningkat seiring dengan  keberhasil memberantas penangkapan ikan ilegal, tetapi tetap akan melambat dalam jangka panjang.

Perhatian Pemerintah terhadap potensi laut semakin meningkat pada kabinet Kerja 2014 sampai 2019. Komitmen Pemerintah yaitu menjadikan laut sebagai poros maritim dunia dan masa depan bangsa. Sasaran utama masyarakat pesisir menjadi maju dan sejahtera. Sejarah dan fakta menunjukkan bahwa peradaban dimulai dari pesisir, dan mayoritas masyarakat Indonesia menetap di wilayah pesisir yang bergantung pada laut sebagai matapencaharian.

Upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan sangat tepat jika berawal dari masyarakat pesisir. Matapencaharian masyarakat pesisir terutama sektor perikanan yang dikelola skala rumah tangga menjadi prioritas karena akan berdampak pada kemajuan ekonomi keluarga. Usaha yang dilakukan dengan skala rumah tangga diantaranya nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan. Sebaiknya jika Pemerintah memiliki keterbatasan anggaran maka pengolah ikan dapat diprioritaskan untuk dibina karena pengolahan ikan yang maju memberi manfaat ekonomi yang besar pada nelayan, pembudidaya ikan dan pedagang.

Pendekatan rumah tangga pengolah ikan sejalan dengan upaya ketahanan pangan yang dilakukan FAO. Dunia tidak lagi fokus pada peningkatan produksi perikanan, tetapi fokus pada upaya mengurangi susut hasil pasca panen pada proses penangkapan, pendaratan dan pengolahan ikan. Menurut data FAO dalam National Workshop on Post-Harvest Fish Losses in Indonesia di Jakarta hari Selasa tanggal 3 November 2015, disebutkan bahwa susut hasil pasca panen sektor perikanan Indonesia mencapai 35% per tahun. penyebab susut hasil ikan akibat dari  perilaku manusia dalam melakukan aktivitas perikanan yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, pendekatan rumah tangga pengolah ikan diharapkan mampu meredam isu lingkungan, keamanan pangan dan perubahan iklim karena pengolah ikan termasuk pembeli utama hasil perikanan baik dari nelayan maupun pembudidaya ikan.

Pendapatan yang rendah dan stagnasi pendapatan yang terjadi pada rumah tangga pengolah ikan yang berlangsung secara terus menerus mengakibatkan ketimpangan yang semakin dalam. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa mayoritas usaha pengolahan ikan masih bersifat tradisional dengan pendapatan kurang dari Rp. 2 Juta per bulan dan margin keuntungan sangat kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Asmara 2007). Hasil penelitian yang dilakukan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB disajikan tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Kabupaten Indramayu 2007
Rumah Tangga Perikanan
 Penerimaan (Rp/bulan)
 Biaya (Rp/bulan)
 Pendapatan (Rp/bulan)
 Persentase (%)
 Nelayan
       2.771.140
         1.515.200
       1.255.940
          45,32
 Budidaya
       3.333.333
         2.333.333
       1.000.000
          30,00
 Pengolah/Pemasar
     26.875.000
       25.318.750
       1.556.250
           5,79

Pendapatan yang rendah seperti tabel 1 di atas jelas sangat timpang apabila dibandingkan dengan rumah tangga yang terlibat di sektor lain. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian lembaga penelitian Universitas Padjajaran tahun 2003 bahwa kelayakan usaha pengasinan ikan teri di desa Karangantu, Kota Serang-Banten yang menjelaskan bahwa B/C rasio per bulan diperoleh sebesar 1,057 sehigga pendapatan tersebut sangat rendah (Resmiati T et al. 2003). Pendapatan tersebut meskipun setara dengan upah minimum, tetapi pendapatan pengolah ikan terdistribusi untuk anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan produksi sehingga secara nyata lebih kecil dari upah minimum.

Disamping itu, stagnasi pendapatan pengolah ikan disebabkan oleh permasalahan diantaranya: (1) ketersediaan bahan baku yang sulit diprediksi karena pengaruh cuaca dan musim ikan sehingga jika bahan baku sulit diperoleh Pengolah ikan memilih untuk libur produksi, (2) tenaga kerja yang sulit diperoleh karena ketidakmampuan membayar upah memaksa anggota keluarga untuk terlibat (3) mutu produk yang tidak menarik dan kurang merespon selera konsumen dan (4) akses pasar yang mengandalkan pembeli yang datang dan konsumen dalam negeri. Angka konsumsi konsumen dalam negeri masih rendah sementara produk mereka belum memenuhi mutu ekspor.

Stagnasi pendapatan yang terjadi pada pengolah ikan mungkin terjadi juga pada sektor lainnya sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan atau gini rasio yang semakin besar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional berpendapat bahwa indeks gini rasio yang meningkat lebih disebabkan  oleh: (1) Ketimpangan dalam usaha, kerja keras, atau talent dari individu, (2) Ketimpangan dalam kesempatan dan (3) Kebijakan (Bappenas 2012 mengadopsi Roemer, 1998).

Solusi mengurangi ketimpangan menjadi lebih mengarah pada peningkatan kesempatan  seperti  usaha,  kerjakeras  dan  talenta  dari individu agar semua warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama  dalam  meningkatkan kesejahteraannya melalui kesempatan pendidikan semua jenjang, serta kualitas pelayanan kesehatan. Akibatnya pengeluaran negara untuk pendidikan dan kesehatan sangat besar.

Paradigma pemberdayaan masyarakat dengan bantuan pendidikan dan kesehatan belum tentu akan meningkatkan kesejahteraan. Bahkan akan menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada Pemerintah. Artinya masyarakat secara umum belum mampu untuk mengakses pendidikan dan kesehatan secara mandiri.

Peningkatan kesempatan usaha, kerjakeras dan talenta individu tidak hanya melalui bantuan pendidikan formal. Pendidikan formal lebih dinikmati generasi muda yang belum memasuki dunia kerja. Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia yang berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan yaitu masyarakat usia dewasa. Oleh karena itu, perubahan perilaku pada masyarakat dewasa hanya bisa didekati melalui penyuluhan.

Namun demikian, partisipasi masyarakat dalam penyuluhan belum menjadi indikator penting dalam pembangunan mausia. Saat ini rata-rata pendidikan formal yang ditempuh masyarakat masih menjadi penentu dalam pengukuran Indeks Pembanguna Manusia (IPM). Selain itu, faktor lain yang menjadi penentu IPM yaitu GDP perkapita dan harapan hidup anak pasca dilahirkan. Gambar dibawah ini menunjukkan IPM Provinsi Jawa Barat, Banten dan Indonesia.
Gambar 8 IPM Provinsi Jawa Barat dan Banten (BPS diolah)

IPM Provinsi Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Banten rata-rata nilai kedua Provinsi tersebut di atas angka 70. Nilai tersebut mendekati rata-rata nasional. Nilai IPM kedua Provinsi tersebut terpaut hanya 1 sampai 3 poin, tetapi ini tidak menunjukkan kemiripan kemajuan budaya belajar. Kedua daerah tersebut dapat diteliti lebih lanjut mengenai kemajuan budaya belajar khususnya dalam pengolaha ikan di Kabupaten Serang dan Kabupaten Cirebon.
Penguatan budaya belajar melalui program penyuluhan diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan, tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman belajar secara formal. Nilai IPM ternyata tidak selamanya relevan dengan nilai NTP. Data menunjukkan bahwa nelayan dan pembudidaya ika Provinsi Banten selama tahun 2015 belum mengalami defisit pendapatan dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat. Dimungkinkan ada faktor lain yang mempengaruhi nilai NTN yang dapat diteliti lebih lanjut diantaranya peran penyuluhan, gender dalam keluarga, media massa, dan jaringan sosial.

Peran penyuluhan menjadi sangat penting untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Peran penyuluh tidak hanya mensejahterakan pelaku utama. Peran penyuluh tidak berakhir pada tujuan ketahanan hidup dan keberlanjutan usaha. Kemandirian pelaku utama tidak hanya dilihat dari keberlanjutan usaha. Konsep kemandirian dalam pemberdayaan harus lebih tajam pada penciptaan rumah tangga yang berkemajuan agar ketimpangan pendapatan berkurang. Rumah tangga yang berkemajuan hanya dapat dicapai oleh masyarakat pembelajar. Tataran global masih menunjukkan bahwa pendekatan ekonomi rumah tangga lebih pada penekanan untuk bertahan hidup (Save The Children-FAO 2008).

Paradigma pemberdayaan rumah tangga dari ketahanan dan keberlanjutan usaha harus diubah menjadi berkemajuan. Paradigma ini dirasakan oleh rumah tangga pengolah ikan. Mereka harus dinamis dalam kreasi produk yang bermutu dan berorientasi pasar sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk. Pengembangan produk yang inovatif hanya dapat dilakukan oleh masyarakat yang kreatif. Daya kreasi akan terwujud apabila pengolah ikan menjadi pembelajar yang baik. Masyarakat pengolah ikan yang memiliki karakter pembelajar akan menciptakan budaya belajar.  Penciptaan budaya belajar menjadi penting dalam pengembangan produk bernilai tambah dan aman dikonsumsi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 dijelaskan bahwa Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menindaklanjuti Undang-undang tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38/PERMEN-KP/2013 tentang Kebijakan dan Strategi Penyuluhan Perikanan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberdayakan Pelaku  Utama dan Pelaku  Usaha dalam  peningkatan kemampuan  melalui  penciptaan  iklim  usaha  yang  kondusif, penumbuhan motivasi,  pengembangan  potensi,  pemberian  peluang,  peningkatan kesadaran, pendampingan, serta fasilitasi. upaya tersebut diharapkan dapat memberdayakan masyarakat kelautan dan perikanan agar lebih sejahtera.

Penyuluhan diharapkan tidak hanya menekankan pada proses pendampingan akan tetapi bagaimana menciptakan budaya belajar dimasyarakat agar mereka mandiri dalam belajar tidak bergantung pada penyuluh secara terus menerus. Kebijakan yang mengarah pada penciptaan belajar yaitu kebijakan pendekatan kelompok. Kelompok menciptakan budaya belajar melalui pertemuan dan diskusi anggota kelompok. Upaya tersebut dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:4/PERMEN-KP/2013 tentang Pedoman Pengembangan Usaha Bidang Perikanan Berbasis Kelompok Masyarakat. Kebijakan tersebut bertujuan bertujuan  untuk meningkatkan  minat  masyarakat  berusaha, menumbuh  kembangkan  kelompok  usaha  baru,  serta    meningkatkan produksi dan pendapatan di bidang perikanan. Kelompok yang berhasil akan mempengaruhi kelompok lainnya.

Potensi penciptaan budaya belajar tidak hanya pada peran penyuluh, tetapi dapat dilakukan juga melalui peran gender, media massa dan jaringan sosial. Fakta lapangan menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti peran perempuan dalam usaha pengolahan ikan, media massa dalam penjualan produk, dan kekuatan jaringan menjadi penting. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menciptakan budaya belajar pengolah ikan dan meningkatkan keberdayaan pengolah ikan dalam menerapkan prinsip mutu, keamanan pangan, dan lingkungan.

Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

PARTISIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) PERENCANAAN PERDESAAN SECARA PARTISIPATIF

DOKUMEN HARVEST STRATEGY RAJUNGAN