Usaha Nelayan Masih Terombang-Ambing
Kualitas
usaha perikanan tangkap harus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya kecerdasan
konsumen seafood baik di dalam maupun
luar negeri. Peningkatan kualitas usaha perikanan tangkap sekurang-kurangnya telah
dilakukan melalui pengurangan tindakan IUU
fishing, pemerataan kepemilikan ijin penangkapan ikan, kemudahan perijinan
kapal perikanan, dan meningkatkan kapasitas nelayan skala kecil.
https://www.google.com/search?q=Gambar+Kapal+ikan&safe
Indonesia
telah berbenah diri untuk meyakinkan masyarakat global bahwa produk perikanan
Indonesia terbebas dari tindakan IUU
fishing. Kapal-kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal sudah menurun
drastis serta berkurangnya markdown kapal.
Hasilnya, produk perikanan Indonesia telah diterima di 147 negara, konsumsi ikan
dalam negeri meningkat 30%, dan angka potensi sumber daya ikan menjadi 12, 54
juta ton per tahun.
Tiba
saatnya, Indonesia sedang menata ulang sistem pelaporan hasil tangkapan ikan.
Pendataan produksi perikanan tangkap sangat penting agar produk ikan tidak
termasuk unreported. Upaya untuk
meningkatkan kepatuhan pelaporan hasil tangkapan sangat sulit karena perlu
waktu lama untuk mengubah perilaku nelayan yang sebagian besar terbiasa tidak
melaporkan hasilnya dan membuat laporan yang tidak sebenarnya. Oleh karena itu,
peningkatan kepatuhan pelaporan selalu dikaitkan dengan perpanjangan surat ijin
penangkapan ikan (SIPI). Upaya penundaan ijin menangkap ikan diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran nelayan agar melaporkan hasilnya sesuai dengan lama hari
melaut.
Sistem
pendataan produksi perikanan tangkap terdiri dari pencatatan hasil tangkapan di
atas kapal, di pelabuhan perikanan, dan laporan usaha. Pencatatan di atas kapal
dilakukan dengan mekanisme logbook penangkapan
ikan. Selanjutnya produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan
dimasukan ke dalam sistem pusat informasi pelabuhan perikanan (PIPP). Proses
tersebut tentunya melalui mekanisme penimbangan ikan dan pemeriksaan logbook oleh petugas pelabuhan
perikanan.
Laporan
hasil tangkapan yang disampaikan melalui lapaoran kegiatan kapal penangkap ikan
(LKP-A) dan pengankut ikan (LKP-B) masih tidak rasional. Kapal dengan alat
penangkapan purseseine berukuran 150 GT selama 90 hari hanya melaporkan kurang
dari 30 ton. Selain itu, harga ikan cakalang yang dilaporkan hanya Rp. 6000,-
per kg. Kapal bouke ami dan cast net
melaporkan harga cumi kurang dari 10.000 per kg. Data-data ini harus diperbaiki
sesuai fakta di lapangan agar bisa digunakan untuk menilai kapasitas
penangkapan ikan karena suatu saat Menteri bisa menutup area penangkapan ikan
apabila telah overcapacity. Selain itu,
pelaporan usaha yang baik diharapkan dapat meningkatkan nilai NPL sektor
perikanan yang saat ini baru mencapai 2,78 sehingga lebih meningkatkan kepercayaan
lembaga keuangan.
Sebagaimana
diketahui bersama bahwa indeks gini rasio Indonesia masih di atas 0,3, bahkan
hingga 0,4 artinya 40 persen kekayaan negara masih dikuasai hanya oleh 1 persen
penduduk Indonesia. Upaya KKP untuk mengurangi indeks tersebut yaitu dengan pemerataan
kepemilikan ijin penangkapan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: 30/PERMEN-KP/2012 telah membatasi kepemilikan ijin kapal sampai dengan
akumulasi 200 GT. Bagi perorangan yang telah mencapai kepemilikan 200 GT tidak
boleh menanbah ijin atau jika menambah ijin harus berbadan hukum. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan kekayaan negara di sektor
perikanan.
Selain
itu, untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan kekayaan negara, KKP juga telah
melarang berbagai bentuk aktivitas transhipment
di laut. Langkah tersebut dilakukan dengan menghapus pasal 37 A, 37 B, dan
37 C pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 57/ PERMEN-KP/2014. Sumber
daya ikan milik seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, kapal penangkap ikan
yang palkahnya telah penuh wajib untuk mendaratkan hasil tangkapannya di
pelabuhan pangkalan yang telah ditunjuk dalam surat ijin penangkapan ikan
(SIPI).
Perizinan
penangkapan ikan masih sangat rumit dan ini telah berlangsung sangat lama. Belum
ada satu presiden pun yang memahami betapa sulitnya perijinan kapal perikanan. Namun
demikian, KKP tetap berupaya untuk meningkatkan kualitas usaha dengan mendorong
isu penyerahan sebagian kewenangan surat-surat atau dokumen kapal perikanan
yang masih diterbitkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Dokumen tersebut diantaranya
gross akte, surat ukur, pas besar,
dan sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan. Sementara itu, sejauh
ini Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menerbitkan SIUP, SIPI, dan Buku
Kapal Perikanan. Perbedaan instansi yang berwenang ini mengakibatkan tidak
sinkronnya tanggal dan masa berlaku antara SIPI, pas besar, dan sertifikat
kelaikan dan pengawakan kapal perikanan. Oleh sebab itu, perijinan kapal
perikanan sampai dengan terbitnya ijin penangkapan ikan masih sangat lama dan
rumit.
Kualitas
usaha perikanan tangkap juga sangat bergantung pada kapasitas menangkap ikan oleh
nelayan kecil. Langkah-langkah yang ditempuh KKP diantaranya yaitu dengan
meningkatkan kompetensi nelayan dan penggantian alat penangkapan ikan agar
lebih ramah lingkungan. Peningkatan kompetensi nelayan dilakukan melalui
sertifikasi ankapin, atkapin, BST, dan buku pelaut. Pelatihan dan sertifikasi
tersebut bekerjasama Kementerian Perhubungan dengan mendatangi lokasi-lokasi
sentra nelayan. Kepemilikan sertifikat kompetensi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan posisi tawar nelayan dalam gaji dan bagi hasil tangkapan ikan
sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan.
Penggantian
alat penangkapan ikan menjadi lebih ramah lingkungan sudah dilakukan sejak
tahun 2014. Kebijakan bantuan pemerintah tersebut diikuti dengan pelarangan
alat penangkapan ikan yang sangat produktif seperti cantrang dan sejenisnya. Pelarangan
pukat hela dan pukat tarik tersebut diharapkan dapat meningkatkan stok ikan
terutama di WPPNRI 712 (Laut Utara Jawa) dan 571 (Selat Malaka) yang
diindikasikan padat tangkap.
Strategi
peningkatan kualitas usaha perikanan tangkap bisa lebih meningkat lagi melalui
berbagai terobosan dan keberpihakan pemerintah. Pertama, komitmen dari
presiden untuk mengeluarkan kebijakan penyerahan sebagian urusan dokumen kapal perikanan
kepada Kementerian terkait. Kedua sinergi kemudahan pelayanan dokumen
kapal perikanan terutama mengenai tanggal dan masa berlaku dokumen. Ketiga,
meningkatkan akses permodalan melalui peningkatan kualitas pelaporan hasil
tangkapan ikan. serta Keempat, meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui
sertifikasi pengawakan kapal perikanan.
Comments
Post a Comment