Penggunaan Trawl di Kota Bengkulu

    1. Pendahuluan
Pada tanggal 19 Februari 2018, nelayan dari berbagai daerah di Provinsi Bengkulu mendatangi kantor gubernur menuntut penghentian penggunaan trawl. Mereka meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengirimkan tim untuk mengusir pengguna trawl. Selain itu, ada kebijakan Plt. Gubernur Bengkulu yang memperbolehkan trawl beroperasi di perairan di atas 4 mil, padahal Pemerintah telah melarang penggunaan trawl dan sejenisnya melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (TEMPO.CO 19/02/2018).
Bentrok fisik tidak dapat dielakkan antara nelayan tradisional dengan nelayan trawl di Kampung Nelayan Kelurahan Malabero Kecamatan Teluk Segara pada tanggal 1 Maret 2018 dini hari. Konflik dipicu oleh aksi nelayan tradisional yang menyita jaring trawl sepanjang 20 meter. Dua orang nelayan trawl terluka di kepala sedangkan jaring diamankan oleh pihak kepolisian setempat (Pedoman Bengkulu 01/03/2018).
Kelompok nelayan trawl mendemo dan merusak kantor Pelabuhan Perikanan Pulau Baai menuntut izin penggunaan trawl kepada Pemerintah Provinsi Bengkulu (KOMPAS. COM 24/03/2018). Aksi kedua tersebut dilakukan dengan pemblokiran jalan karena mereka sudah lama tidak melaut dan tidak ada kejelasan penggantian alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan dari Pemerintah. Aksi pun berlanjut ke depan kantor Gubernur Bengkulu tanggal 26 Maret 2018.  Solusi saat ini yang dilakukan Pemerintah Kota Bengkulu dengan cara memberikan bantuan beras untuk 126 kapal trawl masing-masing 5 orang tanggungan per kapal selama tidak melaut (KlikWarta 27/03/2018).
Upaya lain dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bengkulu dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu dengan cara mendatangi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meminta Pemerintah mempercepat proses penggantian trawl (22/03/2018). Mereka meminta penjelasan tentang perbedaan cantrang dengan trawl. Bahkan mereka menuntut agar cantrang dilegalkan lagi seperti di laut Jawa.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertekad sebagai otoritas yang mampu mengelola perikanan secara berkelanjutan. Tujuan yang diharapkan dari pengelolaan perikanan adalah kesejahteraan nelayan dan kelestarian sumber daya ikan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut  KKP memiliki jabatan fungsional Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan yang diharapkan berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai kasus berkaitan dengan perikanan tangkap. Jabatan baru tersebut diharapkan berorientasi untuk merespon isu dan permasalahan terkini.
Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan merespon kasus konflik nelayan trawl dengan nelayan tradisional di Bengkulu melalui kajian data dan informasi, serta pengamatan di kota Bengkulu. Kajian ini merekomendasikan sejumlah langkah-langkah yang rasional. Rekomendasi tersebut didasari oleh kajian tentang analisis data nelayan kota Bengkulu, analisis perizinan, analisis data landing (PIPP), analisis data produksi dan komposisi ikan (Log Book, Statistik KP), dan sejarah peraturan alat penangkapan ikan khusus trawl.

     2.Karakteristik Perikanan Tangkap di Kota Bengkulu 
      dan sekitarnya

Jumlah nelayan di Kota Bengkulu sebanyak 6.479 orang, sedangkan jumlah rumah tangga perikanannya sebanyak 1.267 unit. Berdasarkan data jumlah nelayan dan RTP di Kota Bengkulu diketahui bahwa rata-rata per unit rumah tangga perikanan terdiri dari 5 orang nelayan per kapal atau perahu. Rata-rata per unit perahu atau kapal di Bengkulu terdiri dari 2 – 3 orang. Artinya unit rumah tangga perikanan di Kota Bengkulu memiliki kapasitas penangkapan ikan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya baik ukuran kasko kapal maupun alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah rumah tangga perikanan dan nelayan di Bengkulu
Kabupaten
Jumlah RTP
Jumlah Nelayan
Kabupaten Bengkulu Selatan
               321
 1.380
Kabupaten Bengkulu Utara
            1.856
 3.704
Kabupaten Kaur
            2.227
 4.304
Kabupaten Seluma
               827
 839
Kabupaten Mukomuko
               587
 2.970
Kota Bengkulu
            1.267
 6.479
Kabupaten Bengkulu Tengah
               498
 1.421
Total
7.583
21.097

       





Sumber: Statistik Perikanan Provinsi Bengkulu 2016


  Produksi perikanan tangkap yang di daratkan di Provinsi Bengkulu pada tahun 2016 didominasi oleh kelompok ikan demersal sebesar 21.750 ton atau 35% dari total produksi. Selain itu, kelompok ikan pelagis besar seperti tuna dan sejenisnya cukup melimpah sebesar 14.449 ton atau 23% dari keseluruhan (Gambar 2). 


 

Gambar 1 Produksi ikan yang didaratkan di Bengkulu
            (Statistik Perikanan – KKP 2016)

Menurut Hidayat dan Nurulludin (2017), bahwa kelompok ikan demersal yang teridentifikasi di perairan Samudera Hindia sebanyak 70 spesies, didominasi oleh famili Sciaenidae (ikan tigawaja), Trichiuridae (ikan layur), Ariidae (manyung), Haemulidae (ikan kaci-kaci), dan Mullidae (kuniran). Sifat penyebaranya antar jenis kategori sedang.
Sebaliknya jika dibandingkan dengan potensi sumber daya ikan di WPP 572 (KEPMEN KP Nomor 50 tahun 2017), semestinya produksi perikanan tangkap terbesar di Barat Sumatera termasuk Bengkulu yaitu kelompok ikan pelagis kecil karena berpotensi sebesar 527.029 per tahun, pelagis besar sebesar 276.755 ton per tahun. Sedangkan kelompok ikan demersal hanya sebesar 362.005 ton per tahun. Dominasi produksi perikanan demersal sepertinya akibat dari kecenderungan nelayan yang menangkap ikan pada daerah penangkapan ikan di jalur 1 atau 0,5 – 1 mil dari pantai dengan waktu tempuh 15 menit (Parmen et al. 2014), sehingga biaya melaut bisa lebih hemat. Selain itu, beberapa jenis ikan demersal juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sebenarnya, produksi kelompok ikan demersal di Provinsi Bengkulu pada 10 tahun terakhir tidak mengalami kenaikan produksi. Bahkan, beberapa jenis ikan seperti manyung dan kuwe yang berafiliasi dengan alat penangkapan ikan pukat tarik cenderung menurun  50 – 200 ton per tahun. Namun, untuk jenis kakap merah, bawal hitam, dan layur diprediksi meningkat  antara 50 – 200 ton per tahun (Gambar 2).


Gambar 2 Produksi kelompok ikan demersal di Bengkulu
(Statistik Perikanan – KKP 2005 – 2016)

Perikanan demersal yang memiliki habitat tidak jauh dari daratan ini menjadi target alat penangkapan ikan seperti jala tebar 20%, jaring insang tetap 16%, dan jaring insang hanyut sebesar 31%. Jenis alat penangkapan ikan tersebut cenderung digunakan di sekitar pesisir dengan target utama kelompok ikan demersal menggunakan kapal bermotor kurang dari 5 GT. Log book penangkapan ikan juga menunjukkan bahwa  komposisi hasil tangkapan dengan jaring insang didominasi oleh jenis ikan pari dan kuwe. Beberapa jenis ikan demersal juga tertangkap dengan pancing ulur (Gambar 3,4, dan 5). Pancing ulur termasuk jenis alat penangkapan ikan yang pasif tapi memiliki target ikan pelagis besar dan juga ikan demersal.

Gambar 3 Jumlah alat penangkapan ikan di Bengkulu
(Statistik Perikanan – KKP 2016)




                

Gambar 4 Komposisi hasil tangkapan ikan jaring insang dan pancing ulur
(Log Book Penangkapan Ikan 2017)


Pancing ulur menjadi salah satu alat penangkapan ikan yang banyak digunakan oleh nelayan yang menggunakan kapal perikanan berukuran kurang dari 10 GT. Bahkan, alat ini cenderung masih layak secara ekonomi jika dilihat dari hasil tangkapan ikan yang meningkat dari tahun ke tahun. Analisis data pendaratan ikan menunjukkan bahwa diperkirakan hasil tangkapan ikan pancing ulur masih produktif terutama untuk target ikan madidihang, cakalang, kakap, dan kerapu (Gambar 5).


Gambar 5 Jumlah kapal pancing ulur dan produksinya di WPP 572
(PIPP 2014 – 2018)

Analisis data tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan ikan demersal oleh pukat tarik, jaring insang, dan lainnya sudah fully eksploited. Sebaliknya, potensi perikanan pelagis besar dan pelagis kecil cenderung belum optimal dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, sebaiknya nelayan Kota Bengkulu dan sekitarnya memanfaatakan perikanan pelagis meskipun daerah penangkapan jauh dari daratan dan membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan perikanan pesisir dengan pukat tarik dan sejenisnya.

     3. Perizinan Penangkapan Ikan dan Sejarah Kebijakan 
       Pelarangan Trawl

Tindakan pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum menggunakan kontrol perizinan penangkapan melalui penerbitan izin usaha perikanan tangkap yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Pemerintah pusat berwenang menerbitkan izin untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT jika menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. Sedangkan pemerintah provinsi menerbitkan izin untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT (Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Perizinan usaha penangkapan ikan baik pusat maun provinsi semestinya mengacu ketentuan yang mengatur pelayanan perizinan dan jalur dan penempatan alat penangkapan ikan. Penerbitan surat izin penangkapan ikan (SIPI) berdasarkan pada PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan ini setidaknya mengatur alokasi jumlah pelabuhan pangkalan dan pelabuhan singgah serta daerah penangkapan ikan. Jalur penangkapan dan penempatan alat penangkapan ikan diatur oleh peraturan Nomor: 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan tersebut setidaknya mengatur penempatan alat penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan yang memiliki kedalaman kurang dari 200 meter dan lebih dari 200 meter.
Pengaturan jalur dan penempatan alat penangkapan ikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, mengurangi konflik nelayan, dan menjaga kelestarian sumber daya ikan. Pengaturan jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan telah mengalami beberapa penyempurnaan yaitu: (1) PER.02/MEN/2011 / 2011, (2) PER.08/MEN/2011 / 2011, (3) PER.05/MEN/2012 / 2012, (4) 18/PERMEN-KP/2013 / 2013, (5) 42/PERMEN-KP/2014 / 2014, dan (6) 71/PERMEN-KP/2016 / 2016.
Izin penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tarik dan pukat hela (trawl)  dilarang di seluruh daerah penangkapan ikan termasuk cantrang dan pukat udang sesuai peraturan Nomor: 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kebijakan ini disebabkan menurunnya sumber daya ikan dan kekhawatiran mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Peraturan pelarangan pukat tarik dan pukat hela di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia hingga saat ini masih berlaku. 
      

Gambar 6 Spesifikasi kapal dan alat penangkapan ikan trawl
(Peraturan Nomor: 2/PERMEN-KP/2015)

Penghapusan trawl sudah dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1980 melaui KEPRES 39/1980. Kebijakan ini bertujuan untuk pembinaan  kelestarian  sumber  perikanan dasar   dan   dalam   rangka   mendorong   peningkatan   produksi   yang dihasilkan  oleh  nelayan  tradisional  serta  untuk  menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial. Spesifikasi alat penangkapan trawl ditandai dengan adanya pembuka mulut jaring seperti papan atau palang (otter board), dan ditarik di belakang kapal (Gambar 6). Bukaan mulut jaring sangat ditentukan oleh panjang tali selambar (Budiarti dan Mahiswara 2010). Bukaan mulut juga dipengaruhi oleh pemberat pada bawah mulut jaring.
Kontroversi kebijakan pelarangan trawl di Indonesia didasari oleh beberapa pemikiran. Pertama adalah kelompok masyarakat yang menggunakan alat penangkapan ikan tradisional selain trawl. Kelompok ini berpendapat berdasarkan pengalaman bahwa dampak dari penggunaan trawl menurunkan hasil tangkapannya secara signifikan. Kedua adalah kelompok masyarakat yang menggunakan trawl yang berpendapat bahwa alat penangkapan yang efektif untuk menangkap ikan dasar adalah trawl. Ketiga adalah kelompok masyarakat moderat yang berpendapat bahwa trawl dapat dimodifikasi dan diatur penempatannya agar lebih ramah lingkungan. Pemerintah dalam mengelola perikanan memilih opsi yang hati-hati dengan tujuan untuk memulihkan sumber daya ikan melalui pelarangan trawl dan sejenisnya.
Rasio hasil tangkapan utama dengan sampingan jaring trawl antara 1:4 atau 1:6. Jumlah hasil tangkapan sampingan yang sangat besar sehingga dikatakan alat penangkapan ini tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan trawl ramah lingkungan dilakukan dengan cara menambahkan seperangkat bycatcth reduction device (BRD). Penggunaan BRD terbukti meloloskan hasil tangkapan sampingan sebesar 30 – 42% (Wahju 2012). Selain itu, perlu pengaturan daerah penangkapan ikan khusus trawl skala kecil. Juga, habitat fisik dan biologi akan rusak disapu bottom trawl jika salah dalam penempatannya terutama jika ditempatkan di wilayah penangkapan ikan yang kaya terumbu karang.
Kasus di Kota Bengkulu menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu tidak memberikan izin penggunaan trawl untuk kapal perikanan berukuran 5 – 30 GT, menurut Kabid Perikanan Tangkap DKP Provinsi Bengkulu (Hr), pihaknya tidak pernah menerbitkan SIPI, SPB, dan SLO untuk kapal perikanan trawl. Oleh karena itu, sebaiknya Pemerintah Pusat mengapresiasi langkah-langkah tersebut.

      4. Rekomendasi
Pendekatan kehati-hatian oleh pemerintah dengan melarang pukat tarik dan pukat hela di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sudah tepat. Namun, kebijakan ini perlu dievaluasi tingkat keberhasilannya. Wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi basis trawl yaitu Laut Jawa dan Selat Malaka. Kedua wilayah laut ini perlu dikaji stok sumber daya ikan dan kelimpahannya pasca pelarangan trawl.
Arah menuju trawl ramah lingkungan perlu dikaji bersama ahli, nelayan, dan pemerintah. Modifikasi kantong jaring, pemasangan excluder/reduction, penentuan jalur dan daerah penangkapan tertentu atau lainnya apakah mampu mengurangi  dampak penurunan stok ikan demersal di perairan Bengkulu (WPPNRI 572). Oleh karena itu, kajian ini merekomendasikan beberapa hal yaitu: (1) bersama ahli dan nelayan, pemerintah segera merancang dan menentukan alat penangkapan ikan yang efektif untuk target ikan demersal, (2) sebaiknya implementasi pelarangan trawl dilakukan secara sukarela dengan memberikan insentif berupa penggantian alat penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan atau pembelian izin SIPI kembali (buyback), (3) mengupayakan alat penangkapan ikan alternatif pancing ulur bagi nelayan yang terkena dampak kebijakan pelarangan trawl, (4) kebijakan penggunaan trawl ramah lingkungan dilakukan untuk daerah penangkapan tertentu dan dalam waktu terbatas dengan mempertimbangkan target populasi, rantai makanan, pengaturan upaya tangkap, pengaturan hasil tangkapan, selektifitas alat penangkapan ikan (Laurence dan Joëlle 2016).
Disamping itu, permasalahan lain dalam pengelolaan perikanan di Indonesia adalah pendataan kapal perikanan berukuran kurang dari 5 GT. Sebaiknya, ke depan dikembangkan perizinan kapal perikanan bermotor meskipun kurang dari 5 GT dan dikenakan pungutan hasil perikanan sehingga kapal yang memiliki izin SIPI akan terdata secara online dan bisa diketahui sejauhmana tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan di laut Indonesia.

      5.      Referensi

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 50/KEPMEN KP/2017 tentang Status dan Potensi Sumber Daya Ikan di WPPNRI.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Statistik Perikanan Provinsi Bengkulu Tahun 2016
Statistik Perikanan – KKP Tahun 2016
Log Book Penangkapan Ikan 2017
Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan Tahun 2018.
Budiarti TW., Mahiswara. 2010. Analisis bukaan mulut jaring trawl dasar pada kapal riset bawal putih. J. Lit. Perikan. Ind. Jakarta 16 (4): 323 – 331.
Hidayat T., Nurulludin. 2017. Indeks keanekaragaman hayati sumberdaya ikan demersal di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa. JURNALPENELITIANPERIKANANINDONESIA. Jakarta 43 (2): 123 – 130.
Laurence F., Joëlle R.M. 2016. Fishing selectivity as an instrument to reach management objectives in an ecosystem approach to fisheries. Marine Policy. France 64: 46 – 54. dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2015.11.004
Parmen, Kamal E., Yuspardianto. 2014. Studi Spesifikasi Alat Tangkap Gill Net Dasar Di Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Padang: Universitas Bung Hatta Pr.
Wahju RI. 2012. Kajian Perikanan Trawl Demersal : Evaluasi Tiga Jenis Bycatch Reduction Device (BRD) [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Pr.
TEMPO.CO 19/02/2018
Pedoman Bengkulu 01/03/2018
KOMPAS. COM 24/03/2018
KlikWarta 27/03/2018





Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

PARTISIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) PERENCANAAN PERDESAAN SECARA PARTISIPATIF

DOKUMEN HARVEST STRATEGY RAJUNGAN