Pengelolaan Perikanan di WPPNRI 711 Meliputi Laut Cina Selatan dan Selat Karimata
Pengelolaan
perikanan di Indonesia sudah sangat baik dengan telah terbentuknya lembaga
peneglolaan perikanan WPPNRI 711. Secara manajerial, lembaga pengelola
perikanan 711 dioperasionalkan oleh koordinator eksekutif yang diduduki oleh
Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat. Selain itu, berbagai keputusan
dan kebijakan pengelolaan diinisiasi dari tingkat provinsi. Ketua komisi WPPNRI
711 dijabat oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat.
Lembaga pengelola juga didukung oleh 3 kelompok kerja yaitu pokja data
informasi, pokja pemanfaatan SDI, dan pokja pengendalian dan kepatuhan.
Isu-isu
pengelolaan perikanan meliputi sumber daya ikan dan lingkungan, sosial ekonomi,
dan tata kelola. Pengelolaan perikanan saat ini dilakukan dengan pendekatan
ekosistem yang mencakup aspek ekologi dan sosial ekonomi. Pendekatan tersebut
sebagai upaya penyempurnaan dengan alasan bahwa sangat tidak mungkin mengelola
perikanan hanya fokus kepada isu ekologi semata karena aspek manusia menjadi
kunci dalam mendorong perubahan perilaku penangkapan ikan yang
bertanggungjawab.
Isu
dan permasalahan berkaitan dengan sumber daya ikan dan lingkungan yaitu: (1)
penangkapan ikan yang merusak habitat dan lingkungannya, dan (2) penetapan
alokasi pemanfaatan sumber daya ikan per provinsi masih belum disepakati.
Penggunaan
alat penangkapan ikan lampara dasar masih marak digunakan oleh nelayan
Kalimantan Barat terutama yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Pemangkat dan
Pelabuhan Perikanan Teluk Batang. Dinas Kalimantan Barat akan menginventarisasi
alat penangkapan ikan ilegal dan operasi pengawasan terhadap penangkapan ikan. Selain
itu, untuk mengurangi penangkapan ikan ilegal dengan sosialisasi peraturan
perundang-undangan. Kerjasama dengan BPPI untuk mengetahui alat penangkapan
ikan yang produktif dan selektif di Kalimantan Barat. Jaring ciker menjadi
alternatif yang disarankan oleh BPPI. Namun, saat ini desakan nelayan
tradisional yang legal menuntut agar nelayan lampara dasar segera di hukum.
Perairan
di Kalimantan Barat juga banyak menggunakan alat penangkapan ikan pasif seperti
togo dan jermal. Namun, format izin tidak ada dalam peraturan usaha penangkapan
ikan. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis untuk pengaturan alat
penangkapan ikan statis. Upaya lainnya yang dilakukan dengan cara menyadarkan
pelaku trawl bekerjasama dengan tokoh
agama terutama di lakukan di perairan Bangka. Upaya pengurangan alat
penangkapan ikan yang ilegal juga dilakukan
di Sumatera Selatan dengan cara pembinaan dan penyitaan alat penangkapan
ikan.
Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung meminta penjelasan mengenai status
tingkat pemanfaatan yang tertera dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 50/KEPMEN-KP/2017. Sementara, nelayan mengeluhkan tidak diberikannya izin
untuk menangkap cumi-cumi. Oleh karena itu, perlu ditinjau ulang jumlah
produksi dan jumlah upaya penangkapan ikan yang dijadikan acuan dalam
penghitungan tingkat pemanfaatan.
Permasalahan
sosial ekonomi diantaranya: (1) kesenjangan ekonomi antara nelayan andon dengan
nelayan lokal/tujuan andon, (2) konflik antara nelayan andon dengan nelayan
tujuan andon. Secara umum, pendapatan nelayan lebih tinggi dibandingkan dengan
upah minimum. Upah purseseine di Kalimantan Barat 3 juta rupiah per bulan
ditambah dengan bonus dan hasil sampingan. Sementara nelayan gillnet hanya gaji
saja. Nilai NTN rata-rata sudah > 100. Saat ini, biaya hidup nelayan
dipengaruhi juga oleh pulsa dan rokok. Adanya hubungan yang saling
menguntungkan antara nelayan KEPRI dengan Pemangkat, dimana hasil tangkapan
nelayan KEPRI dijual di Pemangkat. Kalimantan Barat tidak mau menerima andon
dari Jawa Tengah karena ketika diperiksa kapalnya ternyata membawa alat
penangkapan ikan cantrang. Kalimantan Barat juga tidak mau nelayan andon dari
Jakarta karena hasil tangkapan tidak pernah didaratkan di Kalimantan Barat.
Isu
tata kelola di WPPNRI 711 adalah masih maraknya kegiatan IUU fishing. Pemerintah
daerah telah melakukan upaya diantaranya melakukan operasi pengawasan
perikanan, koordinasi pengawasan, integrasi sistem perizinan pusat daerah
melalui SIMKADA, pengukuran ulang kapal-kapal yang diduga markdown, penguatan pokmaswas, dan kampanye penyadaran IUU fishing.
Pengawasan
perikanan dibagi berdasarkan area laut 12 mil dan di luar 12 mil sesuai
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Pemerintah
Daerah juga mengatur kewenangan penerbitan izin. Kapal berukuran 5 GT sampai
dengan 30 GT menjadi kewenangan provinsi sedangkan kapal perikanan ukuran di
atas 30 GT izin pemerintah pusat. Permasalahan lainnya adalah tidak harmonisnya
Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang
Perlindungan Nelayan berkaitan dengan penerbitan izin kapal perikanan. Namun,
secara umum masalah persepsi hukumnya yang berbeda-beda bukan pada ketidakharmonisan
hukumnya.
Comments
Post a Comment