COVID-19 & Stok Pangan
Pengaruh pandemik virus corona
sangat buruk terhadap perekonomian baik secara mikro maupun makro. Dampak ini
sangat dirasakan oleh semua kalangan dari mulai sektor manufaktur, jasa,
pariwisata, terutama perdagangan. Lantas
bagaimana pangan kita di tahun depan? Apakah akan terjadi krisis pangan? Keterbatasan
akses pangan akibat dari pendapatannya yang hilang atau kekurangan pasokan
pangan. Perlu bahu-membahu semua
komponen masyarakat untuk menjaga stok pangan 2 tahun kedepan.
Wabah cacar Antonine yang
mengakibatkan 2000 kematian per hari di Roma, flu Spanyol yang menewaskan hampir
100 juta orang telah berdampak rawan pangan (Huff et all. 2015).
Sebanyak 925 juta orang mengalami gizi buruk akibat pandemic (FAO 2010).
Tidak hanya dampak wabah penyakit,
stok pangan juga saat ini terancam oleh perubahan iklim. Iklim ekstrim baik
musim hujan maupun kemarau panjang berpotensi mengurangi stok pangan dunia.
Mulai bulan Mei dan Juni tahun 2020 diperkirakan curah hujan sudah mulai
berkurang (BMKG 2020). Apabila normal maka musim kemarau diperkirakan sampai
dengan bulan September atau Oktober 2020.
Bahkan tidak hanya kelaparan yang
ditakutkan lagi adalah kekurangan gizi. Konsep ketahanan pangan sejauh ini
mencakup aspek pangan dan gizi (FAO 2012). Ketahanan pangan semestinya
berorientasi kepada penyediaan pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap
individu. Disamping itu, kualitas pangan harus baik agar masyarakat terhindar
dari penyakit. Menurunnya daya beli masyarakat sangat berdampak pada pola
konsumsi kurang gizi sehingga berdampak terhadap kelahiran dan pertumbuhan
anak-anak.
Wabah corona saat ini berdampak
pada kebijakan proteksionis oleh semua negara terhadap potensi dan produksi
pangan mereka. Oleh karenanya, kemandirian pangan harus sudah mulai dirintis
oleh pemerintah dengan mengerahkan seluruh sumber daya. Aliran ekspor impor
pangan dari dan antar negara sudah terhambat oleh antar negara maka akan
berdampak buruk terhadap kecukupan pangan suatu negara bahkan beberapa negara
sudah melakukannya (Torero 2020).
Sumber: Agriculturedigital 2019
Kebutuhan pangan Indonesia tahun 2020
diprediksi mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Kebutuhan tersebut
ditentukan oleh jumlah penduduk dan perilaku konsumsi pangan sehat oleh kelas
menengah. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 diperkirakan berjumlah 269, 6
juta jiwa. Pada tahun 2020 diperkirakan konsumsi beras, telur, daging unggas,
ikan, dan sayuran berturut-turut yaitu beras 105,72 kg/kapita/tahun, telur 7,07
kg/kapita/tahun, unggas 9,12 kg/kapita/tahun, ikan 29,08 kg/kapita/tahun, dan
sayuran 57,79 kg/kapita/tahun (Badan Ketahanan Pangan 2019). Total kebutuhan
pangan tahun 2020 diperkirakan beras, telur, daging unggas, ikan, dan sayuran
berturut-turut yaitu beras 28,5 juta ton, telur 1,9 juta ton, daging unggas 2,5
juta ton, ikan 7,8 juta ton, dan sayur 15,6 juta ton.
Estimasi pasokan beras dengan luas lahan
sawah 7,1 juta Ha (BPS 2018) sebesar 21, 3 juta ton dalam masa tanam 3 bulan (asumsi
produktivitas min 4 ton/Ha rendeman 75%). Aliran logistik beras dari petani ke
BULOG melalui rantai tata niaga padi. Perilaku petani juga biasanya menyimpan
sebagian hasil panennya atau tidak dijual semuanya sehingga diperkirakan
serapan hanya 10, 6 juta ton saja. Biasanya pada bulan April sudah panen padi
jika kalender tanamnya dimulai bulan Januari. Dalam satu tahun padi sawah
sekurang-kurangnya bisa 2 kali panen. Konsentrasi lahan sawah baku hampir 50%
berada di Pulau Jawa. Kebutuhan beras Indonesia jika dipenuhi secara mandiri
diperkirakan membutuhkan 1 tahun proses tanam padi.
Bagaimana dengan pasokan ikan? Pemenuhan
7,8 juta ton ikan pada tahun ini tidak lah mudah apalagi jika mengandalkan
hasil tangkapan ikan oleh nelayan kecil. Àpabila jumlah kapal perikanan
bermesin berukuran kurang dari 30 GT sebanyak 100.000 unit maka dihasilkan 3
juta ton ikan (asumsi nilai tengah 15 GT produktivitas 2 ton/GT/tahun).
Disamping itu, kapal perikanan berukuran di atas 30 GT diperkirakan berjumlah
5000 unit maka dihasilkan 375.000 ton (asumsi nilai tengah 75 GT produktivitas
1 ton/GT/tahun). Penangkapan ikan yang menggunakan motor tempel dan perahu
tanpa motor juga diperkirakan tidak akan menutupi kekurangan pasokan ikan.
Ketahanan pangan Indonesia berada
pada posisi 65 (GFSI 2018). Nilai diperoleh dari aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan
pangan, kualitas pangan, dan sumber daya alam. Daerah-daerah yang masih rawan
pangan adalah sebagian besar Pulau Papua dan kepulauan. Belum berkembangnya lahan pertanian di daerah
rawan pangan menjadi penyebab utama minimnya akses pangan bagi penduduknya.
Apa yang harus dilakukan pada
situasi dan kondisi seperti ini? Seluruh komponen masyarakat Indonesia yang
bergerak di bidang pangan harus bekerja sama dan saling mendukung. Petani,
nelayan, perusahaan pengangkutan, dan pemerintah satu tujuan yang sama yaitu
penyediaan dan distribusi pangan untuk memenuhi kebutuhan selama
sekurang-kurangnya 2 tahun kedepan.
Petani dan nelayan adalah super
hero. Bagi petani dan nelayan dimanapun anda berada tumpuan harapan pangan ada
di pundak-pundak Saudara yang kuat dan kekar. Bersemangat dan berhati-hatilah dalam
bekerja. Pastikan sebelum berangkat ke sawah atau laut dalam kondisi sehat.
Periksalah kondisi kesehatan sebelum melaut karena jika semua awak sehat maka
pekerjaan di atas kapal akan lebih aman. Persiapkan bekal obat-obatan dan
vitamin C serta perangkat sistem komunikasi darurat.
Bagi pemerintah buatlah terobosan
baru yang memudahkan petani dan nelayan. Kawal distribusi logistik pangan.
Pastikan jalur transportasi lancar. Penuhi kebutuhan pupuk dan BBM bagi petani
dan nelayan. Pastikan tidak ada satu pun kapal nelayan yang tambat labuh
terlalu lama karena kesulitan berangkat. Persiapkan gudang-gudang penyimpanan
pangan. Buat produk-produk pangan yang awet dan tahan lama. Apabila kondisi
mendesak ciptakan lahan pertanian pabrikan (food bank) yang dapat menghasilkan pangan
secara cepat.
Comments
Post a Comment