Pelatihan MGT: Pertama di Indonesia

Acara ini diinisiasi oleh Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, khususnya Sub Direktorat Alat Penangkapan Ikan – KKP. Pelatihan di rumah melalui fasilitas zoom meeting ini memang sudah mulai dikenal, bahkan sebelum terjadinya pandemik COVID 19. Tentunya bagi para penyuluh  hususnya di Negara Maju seperti Amerika sudah menerapkan sistem hybrid melalui webinar. Metode ini memiliki beberapa keunggulan di antaranya adalah lebih fleksibel dan bisa menampung lebih dari 1000 orang dalam suatu pertemuan. Manfaat lainnya yaitu hasil recording bisa disebarkan secara offline kepada peserta lainnya melalui media you tube.
Sumber: HowWeFish
Pelatihan MGT ini, bertujuan untuk membagi pengetahuan tentang metode Mapping, Gear  Selection, dan Total Allowable Effort. Materi ini, diarahkan untuk para pengelola perikanan agar mampu mengelola kapasitas penangkapan ikan di suatu area. Penempatan alat penangkapan ikan tidak terlepas dari karakteristik habitat dan sumber daya ikannya. Pendekatan MGT dalam pengelolaan perikanan diharapkan dapat mencapai manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Disamping itu, dengan pendekatan ini, konflik-konflik yang berkaitan dengan nelayan dan alat penangkapan dapat diselesaikan secara tepat dan baik.

Komitmen semua negara di dunia adalah mewujudkan perikanan yang sehat, mengurangi dampak perikanan, mengurangi limbah dan karbon, serta mensejahterkan nelayan. Gagasan tersebut diamanatkan di dalam tujuan ke-14 SDGs dengan target 14.2, 14.4, dan 14.7. Target dan indikator sebagai berikut:

Tujuan ke-14: Conserve and sustainably use the oceans, seas and marine resources for sustainable development

No.
Target
Indikator
14.2
By 2020, sustainably manage and protect marine and coastal ecosystems to avoid significant adverse impacts, including by strengthening their resilience, and take action for their restoration in order to achieve healthy and productive oceans
Proportion of national exclusive economic zones managed using ecosystem-based approaches
14.4
By 2020, effectively regulate harvesting and end overfishing, illegal, unreported and unregulated fishing and destructive fishing practices and implement science-based management plans, in order to restore fish stocks in the shortest time feasible, at least to levels that can produce maximum sustainable yield as determined by their biological characteristics
Proportion of fish stocks within biologically sustainable levels
14.7
By 2030, increase the economic benefits to Small Island developing States and least developed countries from the sustainable use of marine resources, including through sustainable management of fisheries, aquaculture and tourism
Sustainable fisheries as a percentage of GDP in small island developing States, least developed countries and all countries

Pendekatan MGT sangat tepat untuk mencapai tujuan dan sasaran SDGs 14.2, 14.4, dan 14.7.


Pertama adalah mapping. Unsur ini diwarnai dengan merah karena perlu diprioritaskan dalam pertimbangan pengelolaan perikanan. Mapping adalah memetakan daerah penangkapan ikan terhadap area laut atau habitat yang dilindungi seperti kawasan konservasi, terumbu karang, lamun, dan lainnya. Pemetaan juga mempertimbangkan migrasi ikan, jenis dan ukuran ikan target, serta perilaku ikan.

Berdasarkan Undang-undang Perikanan jika sumber daya ikan terganggu oleh nelayan yang masuk area ini maka termasuk kategori mengganggu. Sedangkan jika melakukan kerusakan maka termasuk kategori merusak. Oleh karenanya, mapping diarahkan untuk menghindari penangkapan juvenil dan spesies yang terancam.

Dalam melakukan proses mapping, perlu dipahami life historical triangel baik terhadap perikanan bergerombol, soliter, stradling, high migratory, sadentary, anadromus, dan katadromus, juga dipertimbangkan alur migrasi hiu, penyu, dugong, dan mamalia laut lainnya. Selain itu, perlu diperhatikan food chainnya.

Selain itu, perlu diperhatikan kedalaman perairan (+- 200 m), area perikanan (WPPNRI, laut teritorial, laut pedalaman, laut kepulauan, zona ekonomi ekslusive, dan laut lepas). Apabila akan menangkap ikan di Laut Lepas harus mengikuti ketentuan RFMOs. Proses mapping juga memperhatikan stok dari 9 kelompok ikan yang ditetapkan oleh Menteri.

Proses mapping sebaiknya melibatkan nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan yang mengetahui data dan fakta yang terjadi di laut. Analisis kuantitaif tidak menjadi patokan utama dalam pengambilan keputusan tetapi yang terpenting adalah perlu di observasi berbagai fakta nyata yang terjadi di laut, bertanya kepada nelayan dan melihat kearifan lokal masyarakat. Misalnya PT DBU yang memiliki pangsa pasar udang tiger tujuan negara Jepang sudah sangat lama mengetahui dimana fishing grounds udang tiger di Utara atau Barat Laut Pulau Dolak.

Dalam proses mapping, juga diperlukan kesepakatan di antara nelayan yang disaksikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Kesepakatan tersebut mencakup jarak fishing grounds dengan kawasan konservasi dan ukuran kapal serta alat penangkapan ikan yang digunakan di kawasan konservasi. Disamping itu, menyepakati kawasan inti yang tidak boleh ada aktivitas perikanan.

Kasus data potensi udang di Laut Arafura tahun 2017 dengan tingkat pemanfaatan 0,86 dengan status fully eksploited padahal pukat udang di area tersebut sudah dilarang beroperasi sejak akhir 2015. Data perusahaan PT. DBU juga menunjukkan peningkatan hasil tangkapan udang pada akhir-akhir tahun 2015 (CPUE meningkat). Artinya, sumber daya udang masih potensial di Laut Arafura, fakta yang terjadi di laut tidak sesuai dengan hasil analisis kuantitatif.

Keluaran dari mapping adalah one map policy. Satu peta ini, setidaknya bisa mencakup area protected zone (spawning, nursery), limited entry (seasonal closure), dan fishing grounds (small artisanal atau industri). Proses mapping juga dapat menunjukkan musim dan unit stok perikanan. Misalnya, Kemungkinan jenis ikan layang sama spesiesnya tetapi tidak satu stok. Begitu juga dengan udang yang sifatnya sedantary tidak mungkin beruaya dari Laut Arafura sampai ke Cilacap.

Kedua, gear selection ditujukan untuk mereduksi dampak penangkapan ikan terhadap hasil tangkapan juvenil dan ETP spesies, kerusakan habitat, dan emisi karbon atau dengan pendekatan LIFE (low impact and fuel efficient). Tingkat efisiensi BBM dilihat dari carbon foot printnya. Selain itu, memperhatikan selektivitas dan kapasitasnya. Alat penangkapan ikan bottom trawl dapat dikategorikan boros BBM.

Logbook penangkapan ikan, Laporan kegiatan usaha dan/atau penangkapan ikan (LKU/LKP-A) dapat dianalisis CPUE dan komposisi jenis ikannnya untuk masing-masing ukuran dan alat penangkapan ikan. Analisis tersebut dapat membantu proses penentuan dan pemilihan alat penangkapan ikan di suatu area perikanan.

Selain pendekatan tersebut, pilihan alat penangkapan ikan juga dilakukan dengan mengevaluasi yang ada di masyarakat bukan fokus pada introduce inovasi alat penangkapan ikan yang baru.

Salah satu negara yang sudah melakukan scoring gear selection adalah Canada. Penilaian dampak alat penangkapan terhadap bycacth dan habitat impact. Alat penangkapan yang sangat merusak habitat adalah  bottom trawl.
Sumber: HowWeFish

Sementara, hasil tangkapan sampingan pukat udang di Indonesia bisa mencapai 12 kali lipat dari target udang. Alat pereduksi terbukti tidak berdampak signifikan dalam mengurangi HTS pada pukat udang. HTS terdiri dari jenis ikan selain udang.

Ketiga, TAE lebih melihat pada nilai ekonomi yang optimal sehingga bisa dihitung dulu hasil tangkapan dan biayanya. Nilai produktivitas kapal dengan jenis alat penangkapan ikannya sama tetapi ukurannya berbeda-beda dapat dianalisis dan dipilih. Produktivitas dapat dihitung dengan rasio hasil tangkapan terhadap konsumsi bahan bakar minyak setiap tripnya.

Pemilihan komposisi armada berdasarkan ukuran dan total GT dapat mempertimbangkan tujuan dari pengelolaan perikanan secara ekonomi. Pemilihan tersebut apakah lebih cenderung pro growth, pro job atau pro poor. Apakah otoritas lebih memilih efesiensi secara finansial atau penyerapan tenaga kerja.

Pelatihan di rumah saat pandemik COVID 19 memberikan berkah ilmu MGT. Materi ini dikumpulkan, disusun, dan dikemas berdasarkan pengalaman pejabat fungsional Pengelola Produksi Perikanan Tangkap Madya yaitu Bapak Ir. Endroyono, SE., M.M. Pendekatan ini diyakininya dapat menyelesaikan konflik nelayan terutama terkait jalur, penempatan, dan jenis alat penangkapan ikan.

Kedepan, diharapkan pendekatan MGT ini menjadi pedoman bagi para pejabat fungsional lainnya dalam mengatasi konflik nelayan dan optimalisasi pengelolaan perikanan. Disamping itu, proses MGT juga dapat meningkatkan fishing grounds yang belum termanfaatkan sehingga dapat menjawab permasalahan pemenuhan kebutuhan pelabuhan perikanan yang terdekat dengan fishing grounds.

Penggunaan teknologi informasi seperti GIS, AIS, e-logbook, dan VMS dapat membantu proses MGT oleh para otoritas pengelola perikanan baik pemerintah maupun pemerintah daerah yang duduk bersama dalam mengelola perikanan berbasis WPPNRI melalui operasionalisasi rencana pengelolaan perikanan dan lembaga pengelola perikanan di setiap WPPNRI.

Penerapan MGT saat menangani konflik adalah otoritas pengelola perikanan dan nelayan dihadapkan pada opsi-opsi penggunaan alat penangkapan ikan yang tepat, efisiens, dan produktif serta tidak boros bahan bakar minyak.




Referensi:

Materi In House Training MGT (Mapping, Gear selection, dan Total allowable effort) oleh Ir. Endroyono, SE, MM.

SNI 8788:2019 Alat Penangkapan Ikan – Karakteristik Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan.


http://200.74.252.16/sites/default/files/low-impact-and-fuel-efficient-life-fishing-fish-res-119-120-2012-p-135-146.pdf

https://sdgs.un.org/goals/goal14

Comments

Popular posts from this blog

Asumsi dan Limitasi

Cara Menilai atau Evaluasi Hasil Study Tour atau Studi Banding

TEORI BELAJAR SOSIAL (SOCIAL LEARNING THEORY)